Kerajaan Pajang: Sejarah, Letak, Silsilah, Masa Kejayaan, kerutuhan dan Peninggalan

letak kerajaan pajang
sumber kebudayaan.jogjakota.go.id
5/5 - (1 vote)

Balaibahasajateng, Kerajaan Pajang: Sejarah, Letak, Silsilah, Masa Kejayaan, kerutuhan dan Peninggalan – Indonesia memiliki kerajaan-kerajaan pada masa dahulu yang tentunya sangat berpengaruh pada peradaban Indonesia sekarang ini.

Di Jawa, khususnya Jawa tengah, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Pajang.

Berdirinya dan runtuhnya masa Kerajaan ini tentu memiliki cerita sejarah yang sangat panjang.

Tidak berlama-lama, berikut sejarah lengkap Kerajaan Pajang.

Table of Contents

Asal-Asul Berdirinya Kerajaan Pajang

Asal mula Kerajaan Pajang tidak bisa lepas dengan berakhirnya Kerajaan Demak pada Tahun 1546 akibat Perang Suksesi Tahta Demak.

Dengan hanya memiliki tiga generasi kerajaan, Demak hanya bertahan selama 68 tahun atau 71 tahun jika dihitung dari awal berdirinya kerajaan Demak.

Sesuai sebutannya, perang Suksesi Tahta Demak merupakan perebutan tahta Kerajaan Demak.

Sejarahnya memang cukup panjang.

Cerita bermula ketika raja kedua Demak, Sultan Pati Unus, wafat.

Karena tidak memiliki anak laki-laki sama sekali, terjadi perebutan tahta di antara kedua adiknya, yaitu Pangeran Sekar dan Pangeran Trenggono.

Putra sulung Trenggono, yaitu Pangeran Prawoto, akhirnya diminta sang ayah untuk membunuh Pangeran Sekar.

Sang anak pun berinisiatif membunuh Pangeran Sekar melalui pembunuh bayaran guna mempermulus ayahnya memiliki tahta kerajaan.

Dengan demikian, Pangeran Trenggono pun akhirnya menjabat menjadi Raja.

Singkat cerita, dikatakan Pangeran Trenggono mati karena ditusuk pisau di dada oleh seorang anak kecil, karena Pangeran Trenggono memarahi dan memukulnya dengan alasan mengganggu musyawarah yang sedang strategi penyerangan terhadap Panarukan.

Wafatnya Trenggono, terdapat perselisihan tentang siapa yang seharusnya naik tahta selanjutnya, Pangeran Prawoto atau Pangeran Arya Penangsang.

Sunan Kudus berkeyakinan bahwa Pangeran Arya Penangsang lebih pantas naik tahta karena Arya Penangsang memiliki kemampuan yang baik dalam bertata-negara dan juga seorang pemimpin yang karismatik, serta merupakan pewaris langsung Sultan Demak dari garis laki-laki tertua.

Di samping itu, Sunan Giri berpendapat bahwa Pangeran Prawoto lah yang seharusnya naik tahta karena merupakan anak raja sebelumnya yaitu Sultan Trenggono.

Karena alasan adat dan hukum tersebut, sultan Prawoto pun naik tahta dengan mudah.

Sunan Kudus tidak menerima keputusan ini, dan akhirnya Sunan Kudus membongkar (baca: menceritakan) kematian Pangeran Sekar yang dibunuh oleh suruhan Prawoto kepada Arya Penangsang.

Mendengar ini, Arya Penangsang marah sekali dan akhirnya mengirim Rangkud untuk membalas kematian Ayahnya.

Sultan Prawoto pun mati, namun Arya Penangsang masih saja terhalang untuk menjadi raja Kerajaan Demak.

Kali ini rivalnya adalah Jaka Tingkir, yang notabenya adalah menantu Sultan Trenggono.

Kisah bagaimana Jaka Tingkir bisa menjadi menantu Sultan Trenggono pun cukup menggelitik.

Dikatakan bahwa suatu hari Sultan Trenggono sekeluarga pergi ke Pegunungan.

Mengetahui hal ini, Jaka Tingkir mulai merencanakan sesuatu.

Ia melepas kerbau yang sudah dimasukkan kumbang ke dalam kupingnya, dan kemudian kerbau ini pun mengamuk dan menyerang pesanggrahan Sultan.

Jaka Tingkir pun menunjukkan diri dan dengan kemampuannya, kerbau itu berhasil dijinakkan.

Atas jasanya itu, Jaka Tingkir pun dijodohkan oleh Sultan Trenggono dengan putrinya, Ratu Mas Cempaka.

Kembali lagi mengenai Jaka Tingkir dan Arya Penangsang, bisa disimpulkan bahwa segala usaha Arya Penangsang untuk menjadi raja Demak dihalangi oleh Jaka Tingkir.

Karena Jaka Tingkir merupakan penuntut tahta yang paling petensial untuk meneruskan kerajaan Demak, maka Sunan Kudus memberikan bisikan kepada Arya Penangsang untuk menyingkir Jaka Tingkir jika ingin mendapatkan kekuasaan.

Arya Penangsa pun mengambil keputusan dengan mengambil empat prajurit terpilih dan mengirim mereka untuk membunuh Jaka Tingkir.

Namun, mereka berempat gagal.

Jaka Tingkir membalas perbuatan Arya Penangsa dengan mengirim surat tantangan sebagai langkah provakasi.

Dengan ceroboh, Arya Penangsa terbawa amarah dan pergi menyambangi Jaka Tingkir.

Sesampainya di tepian sungai Bengawan Solo, Arya Penangsa tidak menemukan akan keberadaan Jaka Tingkir.

Malahan, terdapat sejumlah pasukaan Pajang di bawah komanda Sutawijaya, Putra Ki Ageng Pemanahan.

Dengan kata lain, Arya Penangsa masuk dalam perangkap Jaka Tingkir.

Perang pun terjadi, dan berakhir dengan kematian Arya Pemangsa karena kehabisan darah,

Dengan ini, Jaka Tingkir resmi menjadi penerus pewaris tahta Demak.

Pusat kerajaan Demak pun dipindahkan ke Pajang oleh Jaka Tingkir.

Dengan ini, Kerajaan Demak resmi menjadi Kerajaan Pajang.

Pada tahun 1568, Jaka Tingkir mendapat restu dari Sunan Kudus untuk memerintahkan Kerajaan Pajang, yang kemudian diberi gelar Sultan Hadiwijaya.

Pengesahan atau legitimasi Jaka Tangkir sebagai sultan pertama Kerajaan Pajang dilakukan oleh Sunan giri, salah satu senior anggota Wali Songo yang memiliki basis di Giri Kedaton, sebuah bukit di wiliyah Gresik.

Selama memerintah Kerajaan Pajang, Jaka Tingkir ditemani oleh Istrinya, Ratu Mas Cempaka.

Diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Sultan Kerajaan Pajang tidak lain karena jasanya yang telah berhasil menghentikan konflik di Kerajaan Demak.

Selain itu, keberhasilan Jaka Tingkir tersebut tidak lepas dengan kemampuannya menjalin koneksi dengan orang-orang penting, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Ratu Kalinyamat, Ki Ageng Pamanahan beserta putra-putranya.

Dapat disimpulkan bahwa peran Jaka Tingkir dalam mendirikan Kerajaan Pajang sangatlah penting.

Beliau berhasil menyingkirkan Arya Penangsa hanya mengandalkan kecerdasan strateginya, dan dengan ini beliau juga berhasil menyelesaikan konflik di Kerajaan Demak.

Letak Kerajaan Pajang

Letak Kerajaan Pajang adalah desa Pengging, yang sekarang terletak di Boyolali, Jawa Tengah.

Luas Pajang mencapai 300 kmyang merupakan tiga persimpangan antara Kali Pepe, Kali Dendeng, dan Bengawan Solo.

Wilayah kekuasaan yang dimiliki pada awal berdirinya Kerajaan Pajang hanya meliputi Jawa Tengah.

Penyebabnya adalah banyak wilayah Timur yang melepaskan diri setelah Sultan Trenggono wafat.

Namun, pada tahun 1568, wilayah kekuasaan kembali meluas.

Pada tahun tersebut, Sultan Hadiwijaya dipertemukan dengan para Adipati Jawa Timur oleh Sunana Prapen.

Dari pertemuan tersebut, Sultan Hadiwijaya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Para Adipati Jawa Timur pun bersepakat untuk mengakui bahwa Kerajaan Pajang memang pantas berdaulat di atas wilayah Jawa Timur.

Setelahnya Kerajaan Pajang mulai melakukan perluasan wilayah ke wilayah-wilayah yang belum dicapai, termasuk wilayah Jawa Timur.

Menjelang akhir pemerintahan Sultan Hadiwijaya, kekuasaan di wilayah Timur mencapai Madiun.

Bahkan dikatakan bahwa pada tahun 1581, Sultan Hadiwijaya berhasil berdiplomasi sehingga Arosbaya (Madura Barat) mengakui kekuasaan Sultan Hadiwijaya.

Hal ini membuktikan prestasi Sultan Hadiwijaya sebagai Raja Pajang dalam area diplomasi yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh para penguasa Demak sebelumnya.

Baca juga: Letak kerajaan Banten

Silsilah Kerajaan Pajang

Karena telah membantu menumbangkan Arya Penangsa, Sulthan Hadawijaya memberikan tanah kepada Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi sebagai rasa terima kasih.

Ki Ageng pemanahan diberikan tanah di daerah Mataram, sedangkan Ki Penjawi diberikan tanah di daerah Pati, dan keduanya diangkat menjadi Bupati di masing-masing daerah.

Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan, dijadikan sebagai anak angkat Sultan Hadiwijaya.

Dengan demikian, Sutawiijaya menjadi saudara tiri Pangeran Benawa karena Pangeran Benawa merupakan putera mahkota Kesultanan Pajang.

Ketika Ki Ageng Pemanahan wafat pada 1575, tahta diteruskan oleh Sutawijaya, putranya.

Pada tahun 1582, terjadi perang antara kerjaaan Pajang dan Mataram karena, adik ipar Sutawijaya yang bernama Temenggung Mayang dihukum dengan dibuang ke Semarang oleh Sultan Hadiwijaya.

Perang pun dimenangkan oleh Mataram.

Sepulangnya Sultan Hadiwijaya, beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal.

Selanjutnya, terjadi perbedaan tahta antara Pangeran Benawa dan Arya Pangiri.

Arya Pangiri merupakan adipati Demak, sehingga seharusnya tahta kerajaan jatuh kepada Pangeran Benawa karena beliau merupakan anak dari raja sebelumnya (Sultan Hadawijaya).

Namun, karena mendapat dukungan Panembahan Kudus, Arya Pangiri menjadi raja selanjutnya, sedangkan Benawa dengan ini berhasil disingkirkan dan malah hanya menjadi adipati di Jipang.

Namun, Pemerintahan Sultan Arya Pangiri ternyata membuat masyarakat resah.

Pemerintahan Sultan Arya Pangiri terlalu disibukkan dengan balas dendam, sehingga kehidupan rakyat pun diabaikan.

Di samping itu, dikatakan pula bahwa sepertiga sawah mili rakyat masyarakat Pajang diambil dan kemudian diberikan kepada para pengikutnya di Demak.

Dengan demikian, timbullah usaha-usaha perlawanan.

Melihat kesempatan ini, selain merasa prihatin terhadap rakyat, Pangeran Benawa menghimpun kekuatan.

Pangeran Benawa pun memutuskan menggabungkan kekuatan dengan Pangeran Sutwijaya pada tahun 1586

Walaupun Sutawijaya telah memerangi ayahnya, Pangeran Benawa tetap menganggapnya saudara.

Dengan ini, Arya Pangiri pun berhasil dikalahkan.

Namun Pangeran Benawa tidak ingin Arya Pengiri dibunuh, maka dikirimlah Arya Pengiri kembali ke Demak.

Raja Pajang yang ketiga pun akhirnya jatuh pada Pangeran Benawa.

Namun, dari waktu ke waktu ternyata Pangeran Benawa menyadari bahwa dirinya tidak mampu mengendalikan dan mempertahankan kekuasaan Pajang yang sangat luas.

Karena alasan ini, Pangeran Benawa pun menyerahkan kekuasaan kepada Sutawijaya, dan Sutawijata tentu dengan senang hati menerima tawaran tersebut.

Masa Kejayaan Kerajaan Pajang

Bidang Agraris

Peralihan pusat kerajaan dari wilayah Demak ke Pajang membawa dampak perubahan cukup besar dari sistem kerajaan maritim menjadi agraris.

Maritim berarti berkenaan dengan laut, yang berarti sistem kerjaan yang mengandalkan sistem pelayaran dan perdagangan laut.

Sedangkan agraris berarti sistem yang mengandalkan kehidupan bertani.

Ketika Kerajaan Demak masih berkuasa, kerajaan ini merupakan Pusat Bandar Dagang.

Selain itu, kerajaan ini juga mengembangkan sayapnya berupa Penguasa Lautan., yang bekerja sama dengan militer Kerajaan Aceh dan Jepara.

Disebutkan bahwa Demak turut membantu melawan Portugis di Malaka pada tahun 1513, dengan membawa sekitar 100 kapal perang dengan membawa 12.000 kelasi.

Ketika Kerajaan Demak runtuh dan kekuasaan pindah ke Pajang di bawah pimpinan Sultan Hadawijaya, corak pemerintahan pun lambat laun berubah.

Yang tadinya memakai sistem maritim kemudian berubah menjadi sistem agraris karena wilayah kekuasaan berada di pedalaman.

Wilayah kekuasaan itu berpusat di Desa Pengging, yang sekarang berletak di Boyolali.

Wilayah ini sangat subur karena diselimuti oleh tiga perairan yang yaitu kali Pepe, kali Dengdeng, dan Bengawan Solo, dan ditambah lagi kali Pepe dan kali Dengdeng datang dari Merapi.

Hal ini berdampak sangat baik terhadap irigasi pertanian karena air berjalan lancar untuk mengairi sawah.

Dengan ini, Kerajaan Pajang mengalami kemajuan pesat di bidang pertanian sehingga menjadi pusat tempat penyimpanan beras selama abad ke-16 dan ke-17.

Kehidupan ekonomi Kerajaan Pajang terpaku pada sistem kehidupan agraris cukup lama, karena Pajang kurang begitu mahir menguasai perniagaan berbasis laut karena berada di pedalaman.

Baca juga: Kehidupan rakyat kerajaan Kutai

Kehidupan Politik

Setelah berhasil menaklukan Arya Panangsa, dengan ini Jaka Tingkir menjadi pewaris Kerajaan Demak.

Jaka Tingkir kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang, dan berdirilah Kerajaan Pajang.

Hal ini juga dibarengi dengan pengangkatan Jaka Tingkir sebagai raja pertama Kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Pindahnya pusat kekuasaan ke Pajang berarti membuat Kerajaan Pajang menjadi kerajaan Islam pertama khususnya di Jawa yang terletak di pedalaman, tidak seperti halnya kerajaan-kerajaan lain yang terletak di pesisir.

Kehidupan di pedalaman seperti ini memengaruhi kehidupan bermasyarakat Kerajaan Pajang, yang semula menganut sistem maritim menjadi sistem agraris.

Hal ini disebabkan cukup sulit bagi masyarakat pedalam untuk menjangkau daerah pesisir yang dominan di kelilingi oleh daerah pertanahan disertai dengan perairaran seperti kali Pepe, Kali Dendeng, dan juga Bengawan Solo.

Perpindahan sistem politik yang seperti ini ternyata membuat kemapanan tersendiri terhadap kehidupan masyarakat Kerjaaan Pajang.

Mereka menjadi pusat lumbung beras pada abad ke-16 dan 17.

Berdasarkan pemaparan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya bahwa kehidupan politik Kerajaan Pajang mapan dan stabil.

Namun sangat disayangkan bahwa Kerajaan Pajang ternyata tidak bertahan lama karena adanya beberapa konflik setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya.

Kehidupan Sosial dan Budaya

Ketika menjadi Sultan Kerajaan Pajang, Jaka Tingkir merasa bertanggung jawab untuk melanjutkan dakwah Islam sebagai salah satu murid anggota Wali Songo, Sunan Kalijaga.

Dengan ini, masyarakat Kerajaan Pajang kemudian mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental.

Sesuai dengan gurunya, Sultan Hadiwijaya menyebarkan nilai-nilai religius Islam sesuai dengan tradisi Jawa.

Berbicara mengenai tradisi Jawa, hal ini berarti penyebaran nilai-nilai Islam dibawa melalui proses asimilasi dan kulturasi.

Salah satu cara dakwah yang dilakukan adalah dengan menuturkan cerita-cerita melalui pewayangan.

Cerita-cerita tersebut masih dalam pengaruh menurut kepercayaan Hindu Jawa, namun memasukkan unsur nilai-nilai ajaran agama Islam sebanyak mungkin.

Alasan yang paling masuk akal dakwah Islam tetap membawa pengaruh kepercayaan Hindu adalah agar masyarakat dapat menerima ajaran Islam pelan-pelan, dengan tidak secara langsung menghapus ajaran Hindu sendiri sepenuhnya.

Dikatakan juga bahwa di masa Sultan Hadiwijaya, terdapat pula seseorang yang bernama Malang Sumirang, yang menerima usul Sunan Bonang yang mempersilahkan agar dirinya dibakar hidup-hidup di api unggun.

Dalam contoh tersebut, tentu saja pembakaran tubuh di atas api merupakan akibat pengaruh ajaran Hindu sebelumnya.

Dapat disimpulkan bahwa meskipun Islam sudah sudah menyebar luas di Kerajaan Pajang, imbas tradisi Hindu masih kentara.

Masyarakat juga masih banyak yang melakukan tradisi ajaran Hindu yang sudah turun-termurun dari nenek moyang.

Dengan ini, dapat dikatakan bahwa akulturasi ajaran Islam dan Hindu pada masa Kerajaan Pajang sangatlah kuat.

Bahkan banyak yang menafsirkan bahwa hal semacam ini merupakan Islam Kejawen.

Baca juga: Keruntuhan Kerajaan Medang kamulan

Runtuhnya Kerajaan Pajang

Runtuhnya Kerajaan Pajang bisa dibilang ditandai dengan wafatnya Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir.

Setelah beliau meninggal terjadi perebutan tahta antara Pangeran Benawa, anak Sultan Hadiwijaya, dan Arya Pangiri, adipati Demak.

Selanjutnya, terjadi perbedaan tahta antara Pangeran Benawa dan Arya Pangiri.

Menurut aturan hokum adat, Pangeran Benawa seharusnya lebih pantas menjadi penerus kerajaan karena merupakan anak dari raja sebelumnya.

Namun, yang mendapatkan tahta kerajaan selanjutnya justru Arya Pangiri karena mendapat dukungan Panembahan Kudus, sedangkan Pangeran Benawa bernasib disingkikan dan menjadi adipati di Jipang.

Namun, nasib buruk menimpa Arya Pangiri, karena ketika menjadi sultan, masyarakat merasa sangat resah terhadap pemerintahan beliau.

Hal ini dikarenakan Arya Pangiri sangat sibuk untuk membalas dendam terhadap Kerajaan Mataram, sehingga kehidupan rakyat pun diabaikan.

Sepertiga sawah rakyat juga diambil yang kemudian digunakan untuk diberikan kepada para pengikutnya di Demak.

Masyarakat pun melakukan gerakan perlawanan.

Pangeran Benawa tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Beliau pun akhirnya bersekutu dengan Sutawijaya, saudara angkatnya, pada tahun 1586.

Singkat cerita, Arya Pangiri pun berhasil dikalahkan dengan mudah.

Namun, Pangeran Benawa tidak ingin Arya Pangiri dibunuh, jadi dikirimlah beliau ke Demak.

Pangeran Benawa pun resmi menjadi raja.

Beberapa selang waktu setelahnya, Pangeran Benawa merasa dirinya tidak mampu memimpin Kerajaan Pajang yang begitu luasnya.

Beliau pun menyerahkan kekuasaan kepada Sutawijaya, dan Sutawijata tentu dengan senang hati menerima tawaran tersebut.

Karena, sebenarnya Sutawijaya telah lama berhadap agar menjadi seorang sultan suatu hari nanti.

Tak lama kemudian setelah Sutawijaya menjadi sultan, ia memindahkan ibukota kerajaan ke Kotagede, sehingga bersamaan dengan itu, nama kerajaan berubah menjadi Kerajaan Mataram.

Dengan gelar Penembahan Senopati Ing Sayidin Panatagama Kalifatullah, Sutawijaya pun resmi menjadi Sultan Mataram (1586-1601).

Dengan ini, Kerajaan Pajang bisa dibilang telah mencapai masa keruntuhan pada saat itu.

Peninggalan Kerajaan Pajang

Masjid Laweyan

masjid laweyan
Masjid Laweyan / sumber surakarta.go.id

Masjid ini dikenal sebagai Masjid Ki Ageng Henis.

Kerajaan Pajang, ketika Sultan Hadiwijaya memerintah, di tahun 1546 telah berdiri Pura yaitu tempat ibadah Hindu yang dipimpin oleh seorang biksu di Pajang.

Seiring dengan masyarakat Kerjaan Pajang yang memeluk Islam, dengan pendekatan secara damai, bangunan tersebut diubah menjadi masjid.

Arsitek Masjid Laweyan ini mirip seperti Kelenteng Jawa, namun itu juga berarti menjadi pembeda dari masjid pada umumnya.

Pengaruh Hindu-Jawa sangat melekat pada bangunan ini, terlihat dari konstruksi bangunannya yang menyerupai Pura meski sudah beberapa kali dilakukan pembaharuan.

Masjid ini terletak tak jauh dari Bengawan Solo, yang luasnya kurang lebih 162 m2.

Makam Para Bangsawan

Di sekitar Masjid Laweyan, terdapat makam-makam yang disebut dengan Makam Para Bangsawan, yang berisi sekitar 20 makam.

Di sekitaran makam tersebut, terdapat pohon Nagasari yang telah berusia 500 tahun lebih.

Pohon itu merupakan perwujudan naga paling unggul yang menjaga makan tersebut, yang tentu saja dipercayai masyarakat sekitar.

Di sana juga terdapat gerbang makam yang merupakan simbolisme perlindungan dari Batari Durga

Pasar Laweyan

Pasar Laweyan terletak di Timur kampung Setono, di selatan Kampung Lor Pasar dan di Utara Kampung Kidul Pasar.

Pasar ini juga tak jauh dari Bandar Kabanaran, dan merupakan penyokong utama kegiatan perdagangan.

Pasar Laweyan ini semakin penting sejak produk batik mulai dilakukan pada tahun 1546.

Sampai saat ini pun, masyarakat masih menggunakan pasar Laweyan untuk transaksi perdagangan.

Kesenian Batik

Perabadaan masyarakat Kerajaan Pajang masa silam ternyata mewarisi kesenian batik tulis.

Teknik membatik dari masyarakat Laweyan dikenalkan oleh Ki Ageng Henis, yang merupakan penasehat spiritual Kerajaan Pajang.

Walau sempat redup, kesenian membatik tulis ini kembali hidup berkat minat masyarakat terhadap batik tradisional.

Makam Jaka Tingkir

makam jaka tingkir
Makam jaka Tingkir / sumber visitjawatengah.jatengprov.go.id

Makam beliau berada di Dusun Butuh, Sragen, Jawa Tengah, jauh dari kota.

Makam raja pertama Kerajaan Pajang ini, yang dikenal sebagai Sultan Hadiwijaya, tepatnya berada di kompleks pemakaman yang bernama Makam Butuh, di sekitaran masjid yang juga bernama Masjid Butuh.

Masjid Butuh dulunya merupakan langgar atau mushola yang didirikan oleh Ki Ageng Butuh, yang juga merupakan simbol keberadaan Dusun Butuh.

Meskipun sehari-hari sepi pengunjung, makam Sultan Hadiwijaya sangat berisih dan terawat.

Sumber Air Desa Siwal

Pada tahun 2018, ditemukan terowongan yang diduga merupakan peninggalan Kerajaan Pajang.

Dikatakan peninggalan Kerajaan Pajang karena ternyata juga ditemukan selain arca sapi, juga terdapat sumber air.

Hal ini menandakan adanya jejak sejarah dari Kerajaan Pajang maupun agama Hindu.

Baca juga: Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Nah, sekian dulu penjelasan lengkap mengenai Kerajaan Pajang.

Semoga bermanfaat!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *