Kerajaan Aceh: Sejarah, Silsilah, Letak, masa kejayaan, keruntuhan, kehidupan dan Peninggalan

letak kerajaan aceh
kerajaan aceh / Sumber crcs.ugm.ac.id
5/5 - (1 vote)

Balaibahasajateng, Kerajaan Aceh: Sejarah, Silsilah, Letak, masa kejayaan, keruntuhan, kehidupan dan Peninggalan – Di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam dulunya berdiri kerajaan Islam besar, yang bernama Kerajaan Aceh Darussalam.

Nah, saat itu Kerajaan Aceh Darussalam ini termasuk kerajaan yang terkuat pada zamannya, untuk bersanding dengan negara Aqra, Maroko, Istanbul, dan Isfahan atau Persia.

Nah, berikut ini adalah pemaparan tentang sejarah Kerajaan Aceh yang bisa kamu simak dan kamu pelajari.

Semoga bisa menambah khazanah keilmuan sejarah Indonesia, ya

Table of Contents

Jika membicarakan Kerajaan Aceh, maka kita sedang akan membicarakan sejarah besar salah satu kerajaan Islam yang terbesar di Indonesia.

Kerajaan Aceh merupakan simbol semangat, perjuangan, dan nasionalisme rakyat Aceh sepanjang 4 abad lamanya sebelum Indonesia merdeka.

Sejarah panjang ini bermula tahun 1496 hingga tahun 1903 Masehi.

Pada masa-masa itu rayat Aceh sudah terbiasa dengan persinggungan imperialisme asing yang berusaha merebut wilayah mereka.

Termasuk juga, usaha-usaha Kerajaan Aceh dalam membangun hubungan bilateral dengan berbagai bangsa mancanegara.

Sumber Sejarah Kerajaan Aceh

Setelah jatuhnya Kerajaan Malaka dan Kerajaan Samudra Pasai di wilayah Aceh, tidak ada lagi kerajaan Islam yang besar yang memerintah di wilayah Aceh.

Hingga beberapa waktu setelah runtuhnya Kerajaan Samudra Pasai, berdirilah Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan pada tahun 1496 Masehi atau 913 Hijriah.

peristiwa berdirinya Kerajaan Aceh ini bertepatan dengan dilantiknya Sultan Ali Mughayat Syah menjadi raja pertama Kerajaan Aceh, tepatnya pada tanggal 8 September 1507 Masehi atau 1 Jumadil Awal 913 Hijriah.

Kerajaan Aceh beribukota di Banda Aceh Darussalam.

Setelah peristiwa pelantikan ini, Kerajaan Aceh memiliki sejarah panjang hingga tahun 1903 di masa raja terakhirnya, yakni Sultan Muhammad Daud Syah ditaklukkan oleh Belanda.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh menjelma sebagai sebuah kerajaan besar yang disegani duni dengan berbagai kemajuan di bidang ekonomi, militer, agama, dan politik.

Kuatnya pengaruh kerajaan Aceh pada masa itu sampai membuat bangsa-bangsa asing seperti Portugis, Inggris, dan Belanda sulit menaklukkannya sampai tahun 1903 Masehi.

Pada masa awal berdirinya Kerajaan Aceh, saat itu wilayah pertama yang takluk adalah Kerajaan Lamuri, yang kemudian disusul oleh Daya, Pedir, Lidie, dan Nakur.

Baca juga: Letak kerajaan Ternate

Silsilah Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh memulai perjalan panjangnya ketika Sultan Ali Mughayat Syah mulai memerintah pada yahun 1514 Masehi.

Setelah itu, Kerajaan Aceh memiliki 35 Sultan dan Sultanah yang mewarisi simbol perjuangan rakyat Aceh ini.

Kerajaan Aceh habis sejarahnya ketika Sultan Muhammad Daud Syah kalah perang melawan Belanda pada tahun 1903 Masehi, hingga Beliau diasingkan ke beberapa wilayah di Indonesia.

Berikut adalah nama-nama sultan dan sultanah yang pernah memimpin Kerajaan Aceh dalam sejarah panjangnya.

  1. Sultan Ali Mughayat Syah, memerintah pada tahun 1514-1528 Masehi.
  2. Sultan Salahuddin, memerintah pada tahun 1528-1537 Masehi.
  3. Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar, memerintah pada tahun 1537-1568 Masehi.
  4. Sultan Iskandar Muda, memerintah pada tahun 1607-1636 Masehi.
  5. Sultan Iskandar Thani, memerintah pada tahun 1636-1641 Masehi.
  6. Sultan Sri Alam, memerintah pada tahun 1575-1576 Masehi.
  7. Sultan Zain al-Abidin, memerintah pada tahun 1576-1577 Masehi.
  8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah, memerintah pada tahun 1577-1589 Masehi.
  9. Sultan Buyong, memerintah pada tahun 1589-1596 Masehi.
  10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil, memerintah pada tahun 1596-1604 Masehi.
  11. Sultan Ali Riayat Syah, memerintah pada tahun 1604-1607 Masehi.
  12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam, memerintah pada tahun 1607-1636 Masehi.
  13. Iskandar Thani, memerintah pada tahun 1636-1641 Masehi.
  14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam, memerintah pada tahun 1641-1675 Masehi.
  15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam, memerintah pada tahun 1675-1678 Masehi.
  16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah, memerintah pada tahun 1678-1688 Masehi.
  17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din, memerintah pada tahun 1688-1699 Masehi.
  18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din, memerintah pada tahun 1699-1702 Masehi.
  19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui, memerintah pada tahun 1702-1703 Masehi.
  20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir, memerintah pada tahun 1703-1726 Masehi.
  21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din, memerintah pada tahun 1726 Masehi.
  22. Sultan Syams al-Alam, memerintah pada tahun 1726-1727 Masehi.
  23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah, memerintah pada tahun 1727-1735 Masehi.
  24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah, memerintah pada tahun 1735-1760 Masehi.
  25. Sultan Mahmud Syah, memerintah pada tahun 1760-1781 Masehi.
  26. Sultan Badr al-Din, memerintah pada tahun 1781-1785 Masehi.
  27. Sultan Sulaiman Syah, memerintah pada tahun 1785 Masehi.
  28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
  29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam, memerintah pada tahun 1795-1815 dan 1818-1824 Masehi.
  30. Sultan Syarif Saif al-Alam, memerintah pada tahun 1815-1818 Masehi.
  31. Sultan Muhammad Syah, memerintah pada tahun 1824-1838 Masehi.
  32. Sultan Sulaiman Syah, memerintah pada tahun 1838-1857 Masehi.
  33. Sultan Mansur Syah, memerintah pada tahun 1857-1870 Masehi.
  34. Sultan Mahmud Syah, memerintah pada tahun 1870-1874 Masehi.
  35. Sultan Muhammad Daud Syah, memerintah pada tahun 1874-1903 Masehi.

Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 Masehi)

Sultan Ali Mughayat Syah merupakan seorang pendiri Kerajaan Aceh, yang asalnya dari Gayo, Aceh.

Beliau bertahta di Kerajaan Aceh dalam kurun waktu antara tahun 1514 hingga tahun 1530 Masehi.

Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh banya melakukan perluasan wilayah dan pembangunan pelabuhan.

Pada tahun 1520, Sultan Ali Mughayat Syah mulai melakukan serangan militer ke daerah Sumatra bagian utara.

Target serangan ini adalah daerah Daya, yang merupakan daerah yang belum mengenal Islam pada masa itu di sisi barat laut Sumatra.

Serangan terus berlanjut menuju ke wilayah pantai timur Sumatra yang terkenal dengan hasil buminya berupa rempah-rempah dan emas.

Sultan Ali Mughayat Syah saat itu juga memperhatikan aspek pertahanan nasional serta ekonomi masyarakat.

Terbukti dengan dibangunnya banyak pelabuhan guna memperlancar kegiatan ekonomi rakyat dan tentunya juga digunakan Kerajaan Aceh jika sewaktu-waktu terjadi serangan musuh yang ingin menjatuhkan Kerajaan Aceh.

Pada masa akhir hayatnya, Sultan Ali Mughayat Syah melakukan serangan menuju Deli dan Aru.

Saat serangan diarahkan menuju Deli, yang wilayahnya terdiri dari Pedir (Pidie) dan Pasai, pasukan Kerajaan Aceh berhasil mengusir pasukan Portugis dari daerah itu.

Aru sendiri diserang pada tahun 1524 Masehi oleh Sultan Ali Mughayata Syah, tetapi pasukannya dapat ditundukkan oleh tentara Portugis.

Serangan-serangan militer ini juga sampai ke Johor di semenanjung Malaya.

Dalam sebuah catatan yang berasal dari abad ke-10 Hijriah atau abad ke-16 Masehi, Sultan Ali Mughayat Syah juga dikenal dengan nama Al Ghaziy fil Barri wal Bahri yang artinya adalah “yang berperang atau/penakluk di darat dan di laut, dan Allah memenangkannya” yang maknanya adalah Kerajaan Aceh saat itu begitu dipandang tinggi dalam hal kekuatan militer dan armada lautnya.

Sultan Ali Mughayat Syah akhirnya wafat pada tanggal 12 Dzulhijjah 936 Hijriyah atau 6 Agustus 1530 Masehi.

Sultan Salahudin (1528-1537 Masehi)

Sultan Salahudin melanjutkan kekuasaan ayahnya, Sultan Ali Mughayat Syah, yang memerintah pada tahun 1528 hingga 1537 Masehi.

Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh mengalami guncangan dan perlahan goyang dan mundur.

Hal ini disebabkan Sultan Salahudin kurang memberikan perhatian terhadap masalah kerajaan.

Akhirnya, tampuk pemerintahannya pun lalu dilanjutkan oleh saudaranya, yakni Sultan Alaudin Riayat Syah.

Sultan Alaudin Riayat Syah (1537-1568 Masehi)

Setelah Kerajaan Aceh mengalami kemunduran, Sultan Alaudin Riayat Syah membuat kebijakan yang membuat Kerajaan Aceh bangkit lagi dengan menjadi bandar utama di Asia.

Masa kepemimpinannya di tahun 1537-1568 banyak diwarnai kedatangan pedagang-pedagang muslim mancanegara.

Saat itu, Kerajaan Aceh menjadi pelabuhan transit untuk jual beli lada dari Sumatra dan rempah-rempah dari Maluku.

Kesuksesan ini kerap kali mendapat gangguan dari Portugis sehingga Sultan Alaudin Riayat Syah kemudian memutuskan untuk memperkuat pasukan militernya dan membina hubungan dengan Kerajaan Turki Usmani.

Sultan Iskandar Muda (1607-1636 Masehi)

Sultan Iskandar Muda merupakan raja terbesar yang pernah ada dalam sejarah Kerajaan Aceh.

Beliau adalah orang yang pernah membawa Kerajaan Aceh dalam puncak kejayaan.

Dilantiknya Sultan Iskandar Muda menjadi raja Kerajaan Aceh memang menemui jalan terjal.

Saat itu, pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah terguncang akibat kudetanya terhadap pemerintahan sang ayah, Sultan Ali Riayat Syah seta akibat serangan Portugis.

Anak muda yang bernama Perkasa Alam melancarkan perlawanan atas kondisi ini hingga ia jatuh dalam penjara.

Situasi rumit ini ternyata membuka jalan keluar bagi Perkasa Alam untuk membebaskan diri dari penjara dengan menawarkan diri kepada raja supaya ia dibebaskan dan bisa melakukan pengusiran bangsa Portugis.

Dan benar saja, pasukan Portugis itu bisa dipukul mundur oleh Perkasa alam dari Tanah Serambi Mekkah.

Tak lama kemudian, Sultan Ali Riayat Syah berpulang dan akhirnya Perkasa Alam naik tahta dan diberi gelar Sultan Iskandar Muda.

Untuk membangkitkan lagi kekuatan Kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda banyak membuat kebijakan baru.

Dalam bidang hubungan bilateral, Kerajaan Aceh mulai merangkul negara-negara dan pelabuhan yang ada di sekitaran Selat Malaka untuk bersatu melawan kedatangan bangsa Portugis.

Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar muda juga menerapkan kebijakan dengan bebangun bandar perdagangan di Aceh, memakai mata uang Aceh dan melarang mata uang asing, serta mengawasi dengan ketat aktifitas orang asing yang masuk wilayah Aceh.

Dalam bidang militer, Sultan Iskandar Muda melengkapi kapal-kapal tempur kerajaan dengan senjata meriam dan merekrut banyak pasukan angkatan darat untuk pasukan berkuda dan pasukan gajah.

Dalam bidang hubungan internasional dengan bangsa asing, Sultan Iskandar Muda banyak melakukan hubungan baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Turki.

Dengan berbagai kebijakan ini sebagian besar wilayah di Sumatra berhasil dikuasai termasuk negeri-negeri di Semenanjung Malaya seperti Johor, Malaka, Pahang, Kedah, Perak, hingga Patani atau Thailand bagian selatan.

Dengan kebijakan-kebijakan ini, tak ayal membuat Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan.

Beliau wafat pada tanggal 27 Desember 1636 Masehi di Banda Aceh dalam usia 43 tahun.

Sultan Iskandar Thani (1636-1641 Masehi)

Sultan Iskandar Thani menerapkan kebijakan pembangunan dalam negeri daripada memilih politik ekspansi wilayah.

Oleh sebab itu, maka tak heran Kerajaan Aceh saat itu perkembangan studi Islam berkembang pesat, hukum syariat Islam begitu diperhatikan, dan suasana damai menyelimuti Aceh dan daerah kekuasaan.

Namun, setelah Sultan Iskandar Thani wafat, kondisi Kerajaan Aceh mengalami kemunduran akibat tak mampu menahan lepasnya beberapa daerah taklukan.

Kondisi inipun juga membuat Kerajaan Aceh kehilangan posisinya sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan.

Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903 Masehi)

Sultan Muhammad Daud Syah merupakan raja terkahir Kerajaan Aceh, sebelum kerajaan ini jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 10 Januari 1903.

Beliau diangkat menjadi sultan ke-35 sepanjang sejarah Kerajaan Aceh di Masjid Tua Indrapuri pada tahun 1874.

Setelah takluk kepada Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah diasingkan sampai ke Ambon dan terkahir dipindah ke Batavia sampai Beliau meninggal pada tahun 6 Februari 1939.

Baca juga: Peninggalan Kerajaan Demak

Letak Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh terletak di posisi strategis di ujung Pulau Sumatra bagian utara.

Kalau sekarang, pusat Kerajaan Aceh yang terletak di Kutaraja atau sekarang dikenal dengan nama Banda Aceh, masuk dalam wilayah administrasi di bawah pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Daruussalam.

Lokasi ini saat itu menjadi jalur pelayaran dan perdagangan internasional sehingga membuat Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam yang berjaya dalam bidang pelayaran dan perdagangan juga.

Saat itu, wilayah yang dikuasai Kerajaan Aceh terbentang luas dari Deli sampai ke daerah Semenanjung Malaka.

Pada masa pemerintahan Sultah Ali Mughayat Syah, yakni raja pertama Kerajaan Aceh, kekuasaan yang dimiliki Kerajaan Aceh pada tahun 1496 Masehi meliputi wilayah Kerajaan Lamuri.

Lalu kekuasaannya berkembang lagi dengan berhasil menjatuhkan dan menaklukkan wilayah-wilayah lain di sekitar Lamuri pada tahun 1511 Masehi, yakni daerah Peurlak (Aceh Timur), Pedir (daerah Pidie), Nakur, Lidie, dan Daya (Aceh Barat Daya).

Kesultanan Samudra Pasai yang punya sejarah kerajaan besar Islam di Indonesia juga ikut melebur jadi satu dengan Kerajaan Aceh pada tahun 1524 Masehi.

Kekuasaan Kerajaan Aceh makin luas lagi setelah wilayah Kepulauan Aru juga berhasil tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh.

Pada saat itu, Kerajaan Aceh sudah menduduki hampir semua wilayah Aceh yang terdiri dari Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, dan Jambu Aye.

Perluasan wilayah ini terus dilakukan sampai ke Semenanjung Malaka dengan menaklukkan Kerajaan Johor, Kerajaan Pahang, dan Kerajaan Pattani.

Dengan kemenangan-kemenangan yang dicapai ini, kekuasaan Kerajaan Aceh sudah mencakup lebih dari setengah wilayah Pulau Sumatra, hingga sebagian Semenanjung Malaya hingga ke Pattani.

Masa Kejayaan Kerajaan Aceh

Dalam masa jaya Kerajaan Aceh, kerajaan ini pernah menduduki peringkat 5 kerajaan Islam di dunia.

Maka dari itu berikut adalah catatan-catatan penting mengenai masa-masa jaya Kerajaan Aceh dipandang dalam aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, dan militer.

1. Bidang Ekonomi

Aspek ekonomi dari Kerajaan Aceh sangat bertumpu pada perkembangan bidang perdagangan dan pelayarannya.

Aspek ekonomi Kerajaan Aceh ini semakin pesat berkembang karena posisi geografisnya yang ada di Selat Malaka.

Kerajaan Aceh juga mengadakan hubungan-hubungan internasional untuk menumbuhkan esksitensinya.

Sehingga tidak langsung hal ini berefek juga pada perkembangan ekonominya.

Perkembangan Kerajaan Aceh ini terlihat semakin pesat ketika Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Alaudin Riayat Syah.

Saat itu Kerajaan Aceh berkembang menjadi bandar utama untuk kawasan Asia.

Banyak saudagar mencanegara yang datang ke Aceh karena potensinya yang besar, di antaranya adalah mereka yang ebrasal dari Inggris, Belanda Mesir, Arab, Persia, Perancis, Inggris, Afrika, Turki, Indoa, Syam, Cina, dan Jepang.

Adapun komoditas ekspor yang sering dicari dari Kerajaan Aceh antara lain kayu cendana, kayu sapang, gendarukam, dammar, teban, kemenyan hitam, kemenyan putih, kamper, akar pucuk, minyak rasamala, kulit kayu masui, lada, campli puta, bunga lawang, sutera, tali-temali, gading, dan lilin.

Sementara komoditas impor yang didatangkan dari mancanegara di antaranya adalah beras, mentega, gula, anggur, kurma, timah, besi, boraksi, bendela, kain tenun, tembikar, guci, candu, kopi, teh, tembakau, batu karang, dan air mawar peti.

Kebijakan pemerintah Kerajaan Aceh yang mulai mengolah barang mentah menjadi barang siap pakai juga menambah daftar kenaikan kehidupan ekonomi masyarakat

Kerajaan Aceh, utamanya mereka yang tinggal di ibukota.

Mereka yang tinggal di Sedang Pidie umumnya melakukan cocok tanam tanaman padi sebagai hasil utamanya.

Namun, hasil pertanian yang menjadi komoditas utama untuk diekspor ke luar negeri dari kerajaan Aceh adalah lada.

Dengan kekayaan hasil bumi ini, Kerajaan Aceh ini menjelma menjadi kekuatan Islam yang hidupnya makmur dan sejahtera.

Apalagi saat itu sistem pertahanan kerajaan juga sudah dijamin oleh pihak kerajaan, sehingga kegiatan perdagangan dan pelayaran bisa dilakukan dengan rasa aman.

2. Bidang Sosial

Untuk mengatur struktur masyarakat Aceh, Kerajaan Aceh memiliki hukum yang dinamakan hukum Kanuen Meukuta Alam.

Hukum ini merupakan hukum yang berlandaskan pada syariat Agama Islam.

Baik wilayah Kerajaan Aceh sendiri maupun wilayah penaklukannya, semua rakyat di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh secara hukum ditegakkan hukum Kanuen Meukuta Alam ini.

Melalui hukum ini, rakyat yang berada di dalam naungan Kerajaan Aceh akan terjamin keadilan hukumnya tanpa pandang bulu.

Karena itu pula, wilayah yang takluk kepada Kerajaan Aceh menjadi senang berkat keadilan ini.

Mungkin saja kalau bukan karena hasutan yang dilancarkan oleh para penjajah, daerah-daerah penaklukan itu tidak akan berlepas dari dari Kerajaan Aceh.

Menurut undang-undang dalam hukum Kanuen Meukuta Alam ini, kekuasaan tertinggi diemban oleh sang sultan.

Sementara itu, untuk urusan agama, ada para ulama yang berperan untuk mengurusnya.

Untuk mengurus wilayah dan hak otonomi, maka ada jabatan ulee balang atau hulu balang yang bekerja di bawah pengawasan sultan.

Untuk strat sosial masyarakat Aceh sendiri, pengelompokannya dibagi menjadi beberapa kelompok, yakni :

  • Masyarakat umum atau masyarakat awam, yang merupakan suku bangsa yang menetap di wilayah Aceh.
  • Orang kaya atau kaum hartawan, yang merupakan kelompok orang kaya yang memiliki banyak harta dan dekat dengan orang-orang yang ada di pusat pemerintahan.
  • Kaum bangsawan atau teuku atau ampon, yang merupakan orang-orang yang memperoleh kepercayaan dari sultan dalam menguasai daerah-daerah Sagoe.
  • Keturunan Nabi atau Habib, yang memiliki garis keturunan Nabi, yang pada umumnya mereka datang dari Makkah, Madinah, Yaman dan Hadratul Maut serta memiliki kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat Aceh.
  • Kaum cendikiawan atau ulama, yang merupakan para alumnus Dayah Mayang atau Perguruan Tinggi Islam tradisional dengan gelar Teungku atau Abu.

3. Bidang Politik

Di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin Al Kahar yang memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1537-1568, Kerajaan Aceh melakukan penyerbuan kepada Kerajaan Johor.

Saat itu, tepatnya di tahun 1564, sultan Johor berhasil ditangkap dan ditawan di Kerajaan Aceh.

Namun sayangnya, Kerajaan Johor ini tetap saja menentang kekuasaan kerajaan Aceh.

Setelah melakukan penyerangan ke Kerajaan Johor, selanjutnya Kerajaan Aceh melakukan serangan ke arah tengah dan selatan wilayah Sumatera.

Kerajaan yang berhasil ditaklukkan Kerajaan Aceh di antaranya adalah Deli yang takluk pada tahun 1612 Masehi, Bintan yang takluk pada tahun 1614, Kampar Perlamaan, serta Minangkabau.

Selain itu, Kerajaan Petaka dan Pahang yang berada di Semenanjung Malaka juga berhasil ditaklukkan Kerajaan Aceh pada tahun 1618 Masehi.

Puncak kejayaan kerajaan Aceh terjadi saat Sultan Iskandar Muda dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Aceh.

Kerajaan-kerajaan yang berhasil dijatuhkan adalah Pahang, Kedeh, dan Perlak Johor.

4. Bidang Budaya

Pada masanya, di Pulau Sumatra berkembang kebudayaan dalam bentuk kesusasteraan cerita dan legenda dalam bentuk hikayat.

Salah satu hikayat yang terkenal pada masa itu adalah Hikayat Malem Dagang yang bercerita tentang heroiknya Malem Dagang dalam memimpin angkatan laut Aceh saat menyerang Malaka.

Selain daripada itu, beberapa hikayat lain yang terkenal adalah Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, HIkayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat, dan Hikayat Prang Sabil.

Pada masa itu juga terkenal sebuah karya kesusateraan karya Syaikh Nuruddin Ar Raniry yang berjudul Bustanus Salatin (Taman Para Sultan).

Karya kesusasteraan lain yang terkenal adalah Tajus Salatin yang dikarang tahun 1603, Sulalatus Salatin yang dikarang tahun 1612, dan Hikayat Aceh yang dikarang selama tahun 1606-1636.

Aceh juga memiliki seorang penyair terkenal yang bernama Hamzah Fansuri.

Adapun hasil karyanya yang dikenal hingga kini adalah Asrar Al Arifin atau Rahasia Orang yang Bijaksana, Syarab al Asyikin atau MInuman Sega Orang yang Berahi, Zinat al Muwahhidin atau Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan, Syair Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

Banyaknya hasil karya kesusasteraan bernuansa Islam ini membuktikan kalau Kerajaan Aceh memiliki peranan penting dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam di Indonesia.

5. Bidang Agama

Sebagian besar masyarakat yang berada di bawah pemerintahan Kerajaan Aceh memeluk Agama Islam.

Kondisi ini menyebabkan budaya Islam begitu terasa kental di Kerajaan Aceh.

Perkembangan kehidupan Agama Islam seprti ini memang tak bisa dihindari oleh Kerajaan Aceh yang menjali berbagai interaksi dengan saudagar-saudagar asing.

Kerajaan Aceh pun banyak melahirkan ulama-ulama muslim yag berpengaruh bukan hanya di Kerajaan Aceh, tapi juga sampai ke seantero Asia Tenggara.

Di antara ulama-ulama besar Aceh tersebut adalah Hamzah fansuri yang menulis buku Tabyan Fi Ma’rifati al U Adyan.

Ada juga Syamsuddin al Sumtrani yang mengarang buku Mi’raj al Muhakikin al Iman, Nuruddin al Raniri yang mengarang bukunya Sirat al Mustaqim, serta Syekh Abdul Rauf Singkili yang menulis buku Mi’raj al Tulabb Fi Fashil.

Syaikh Nuruddin al Raniri sendiri setidaknya sudah pernah menerbitkan sebanyak 27 judul kitab Berbahasa Arab dan Melayu.

Sirat al Mustaqim sendiri merupakan kitab fiqih berbahasa melayu pertama yang membahas masalah fiqih secara lengkap.

Dengan banyaknya literatur yang dimiliki Kerajaan Aceh ini tentu semakin membuat masyarakat setempat semakin mudah dalam mendalami ajaran Agama Islam.

6. Kehidupan militer

Salah satu kebijakan Sultan Ali Mughayat Syah dalam membangun kekuatan Kerajaan Aceh yang patut diperhitungkan adalah keputusannya dalam membangun kekuatan armada angkatan laut yang kuat.

Selanjutnya, kebijakan ini diteruskan oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah, yang memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1539-1572 Masehi.

Sultan Alaiddin Riayat Syah, yang dikenal juga dengan nama Al Qahhar, memperkuat armada angkatan laut dengan cara menjalin kerjasama militer dengan kesultanan Turki Usmani yang saat itu merupakan salah satu kekuatan terbesar di dunia.

Dalam kerjasama ini, tenaga ahli sengaja didatangkan dari Turki, Arab, dan India untuk keperluan pelatiahn teknis para zeni.

Kesultanan Turki Usmani sendiri, dalam hal ini mengirimkan tenaga ahli sebanyak 300 orang demi membantu kebutuhan Kerajaan Aceh.

Bukan saja para tenaga ahli yang didatangkan Kesultanan Turki Usmani, melainkan mereka juga mengirimkan pembuat senjata ke Aceh.

Dari mereka, para pasukan Kerajaan Aceh belajar sehingga kemampuan mereka sudah berada pada level mampu memproduksi meriam dari kuningan.

Pengembangan kekuatan angkatan darat dan laut ini berlanjut sampai masa Sultan Iskandar Muda.

Bagi beliau, siapa yang kuat akan hidup, dan siapa yang lemah maka akan tenggelam.

Maka dari itu barisan angkatan perang darat dan laut mesti terus diperkuat dan dipermoderen.

Salah satu laksamana perang legendaris yang dimiliki Kerajaan Aceh adalah Laksamana Malahayati.

Baca juga: Masa kejayaan Kerajaan Pajajaran

Sistem Pemerintahan Kerajaan Aceh

sistem pemerintahan kerajaan aceh
Contoh sistem pemerintahan kerajaan aceh / sumber maa.acehprov.go.id

Sebagai sebuah kerajaan besar dan memiliki banyak relasi dengan pedagang lokal maupun pedagang asing, sudah semestinya sistem pemerintahan Kerajaan Aceh tertata dengan rapi.

Berikut adalah pembahasan mengenai sistemp pemerintahan Kerajaan Aceh tersebut.

Bentuk Teritorial

Bentuk teritorial Kerajaan Aceh yang terkecil disebut dengan istilah gampong atau yang kita kenal sebagai kampung.

Setiap gampong terdiri dari beberapa rumah yang lokasinya berdekatan.

Setiap gampong dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan Geucik atau Keuchik, yang dibantu oleh seorang yang disebut Teungku Meunasah sebagai ahli agama di gampong tersebut.

Selain itu, biasanya Keuchik juga mempunyai seorang wakil yang disebut Waki (wakil) atau Ureung Tuha (orang tua), yakni orang-orang yang sudah berumur tua dan disegani di kampungnya.

Dalam tradisi Aceh, ureung Tuha ini bisa berjulah 4 orang yang disebut Tuha Peut atau 8 orang yang disebut Tuha lapan.

Di atas gampong, terdapat teritorial yang lebih besar, yang dinamakan Mukim.

Mukim ini adalah gabungan dari beberapa gampong yang lokasinya berdekatan.

Setiap Mukim dipimpin oleh seorang yang dinamakan Imum Mukim, yang bertugas juga sebagai imam pada setiap Shalat Jum’at di masjid.

Dalam setiap mukim, diharuskan ada minimal 1000 laki-laki yang bisa memegang senjata agar bila tiba-tiba terjadi serangan musuh, kekuatan-kekuatan tempur bisa dihimpun dengan mudah.

Dalam perkembangannya, Imum Mukim ini dijadikan kepala pemerintahan dalam sebuah Mukim yang ditugaskan untuk mengkoordinir para Keuchik.

Namanya pun kemudian diganti dengan sebutan Kepala Mukim.
Tugasnya untuk jadi imam Shalat Jum’at pun kemudian dialih tugaskan kepada Imuem Mesjid.

Sagoe atau Sagi

Di daerah Aceh Besar, Terdapat pemerintahan yang disebut dengan Sagoe atau Sagi.

Setiap Sagoe dipimpin oleh seorang yang dinamakan Panglima Sagoe atau Uleebalang.

Wilayah-wilayah yang ada di Aceh Besar masuk dalam 3 Sagoe.

Ketiga Sagoe itu adalah :

  • Sagoe XXII Mukim

Dinamakan demikian karena dalam Sagoe ini ada XXII atau 22 mukim.

Dipimpin oleh kepala sagoe tang diberi gelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi, yang juga dilantik sebagai Wazirud Daulah atau menteri negara.

  • Sagoe XXV Mukim

Dinamakan demikian karena dalam Sagoe ini ada XXV atau 25 mukim.

Dipimpin oleh Kepala sagoe yang diberi gelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul ‘Alam, yang juga dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Kerajaan.

  • Sagoe XXVI Mukim

Dinamakan demikian karena dalam Sagoe ini ada XXVI atau 26 mukim.

Dipimpin oleh kepala sagoe yang diberi gelar Sri Imeum Muda Pangima Wazirul Uzza, yang juga dilantik sebagai Wazirul Harb atau Menteri Urusan Perang.

Di luar kelompok 3 Sagoe tersebut, Di Aceh Besar masih ada mukim-mukim kecil yang berdiri sendiri.

Mukim ini juga dipimpin oleh seorang yang dinamakan Kepala Mukim.

Karena wilayah mereka tidak terlalu luas, maka Panglima Sagoe di sini berada dalam pengawasan sultan secara langsung, bukan di bawah koordinasi Uleebalang ataupun Panglima Sagoe.

Mukim-mukim kecil ini misalnya adalah Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar Aye, Mukim Lam Sayun, dan Mukim Meuraksa.

Lembaga Pemerintahan

Saat itu Kerajaan Aceh sudah memiliki beberapa lembaga pemerintahan dalam menjalankan setiap kebijakan kerajaan.

Lembaga pemerintahan tersebut adalah sebagai berikut.

  • Balai Rong sari

Lembaga ini bertugas untuk membuat perencanaan dan penelitian.

Lembaga ini langsung dipimpin oleh sultan.

Dan anggotanya terdiri dari 4 hulubalang dan 7 ulama.

  • Balai Majlis Mahkamah Rakyat

Lembaga ini tugasnya semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.

Lembaga ini dipimpin oleh Kadli Malikul Adil. Anggotanya ada 73 orang.

  • Balai Gading

Lembaga ini tugasnya semacam kabinet pemerintah.

Lembaga ini dipimpin Wazir Mu’adhdham yang bergelar Seri Perdana Menteri.

Anggotanya ada 9 orang.

  • Balai Furdhah

Lembaga ini tugasnya untuk mengurus hal ihwal ekonomi, kalau sekarang semacam Departemen Perdagangan.

Lembaga ini dipimpin seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka.

  • Balai Laksamana

Lembaga ini tugasnya untuk mengurus hal ihwal angkatan perang, kalau sekarang semacam Departemen Pertahanan.

Lembaga ini dipimpin seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb.

  • Balai Majlis Mahkamah

Lembaga ini tugasnya untuk mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, kalau sekarang semacam Departemen Kehakiman.

Lembaga ini dipimpin seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan.

  • Balai Baitul Mal

Lembaga ini tugasnya untuk mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, kalau sekarang semacam Departemen Keuangan.

Lembaga ini dipimpin seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham.

Jabatan Kerajaan Aceh

Selain itu, terdapat juga pejabat-pejabat tinggi yang dilantik oleh kerajaan, yakni sebagai berikut.

  • Syahbandar, yang tugasnya untuk mengurus perdagangan di pelabuhan.
  • Teuku Kadhi Malikul Adil, yang tugasnya seperti hakim tinggi.
  • Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yang tugasnya seperti Hulubalang, atau sekarang seperti Menteri Dalam Negeri.
  • Wazir Seri Maharaja Gurah, yang tugasnya untuk mengurus urusan pengembangan dan pemanfaatan hasil hutan, atau sekarang seperti Menteri Kehutanan.
  • Teuku Keurukon Katibul Muluk atau Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk, yang tugasnya untuk mengurus urusan sekretariat negara, atau seperti kira-kira Sekretaris Negara.

Baca juga: Kerajaan Tarumanegara: Asal Mula, Masa Kejayaan, Silsilah, Kehidupan dan Peninggalan

Keruntuhan Kerajaan Aceh

Keruntuhan dan kemunduran Kerajaan Aceh di sebabkan oleh beberapa faktor.

  • Tidak ada sultan yang cakap memimpin selepas Sultan Iskandar Muda

Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda tahun 1630 Masehi, satu per satu wilayah taklukan kerajaan mulai tidak terkendali.

Apalagi saat itu wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh sangat luas hingga ke Semanjung Malaya.

Hal ini terasa mulai saat Sultan Iskandar Thani memerintah menggantikan ayahnya tersebut pada tahun 1636 Masehi.

Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, kemunduran kerajaan semakin tersa lagi.

  • Munculnya pertikaian ulama dan bangsawan

Saat itu juga tengah berkembang aliran Syiah di Aceh.

Hal ini menyebabkan aliran Sunnah wal Jama’ah mulai tersinggung dengan aliran baru tersebut.

Tak ayal, terjadilah pertikaian di internal Kerajaan Aceh antara golongan ulam dengan golongan bangsawan.

Kondisi ini menimbulkan kelemahan bagi kekuatan Kerajaan Aceh, karena kekuatannya sedikit demi sedikit dirongrong dari dalam.

  • Serangan bangsa asing

Lemahnya kekuatan Kerajaan Aceh membuat satu per satu daerah kekuasaan berani melepaskan diri.

Sebut sajalah Kerajaan Pahang, Johor, Siak dan Minangkabau yang kemudian berdiri sendiri jadi kerajaan merdeka.

Kondisi ini ternyata juga tidak lepas dari tangan-tangan asing yang menghasut kerajaan-kerajaan di beberapa wilayah kekuasaan Aceh supaya melepaskan diri dari Aceh.

Tentu saja ini sudah bisa dibaca bahwasannya itu salah satu cara pihak asing untuk menaklukkan Kerajaan Aceh.

Akhirnya Kerajaan Aceh runtuh juga pada awal abad ke-20 di tangan Belanda pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah.

Peninggalan Kerajaan Aceh

1. Masjid Raja Baiturrahman

Masjid Raja Baiturrahman
Masjid Raja Baiturrahman / sumber bandaacehkota.go.id

Masjid Raya Baiturrahman adalah simbol agama dan perjuangan bagi rakyat Aceh, di samping juga menjadi simbol budaya, spirit, kukuatan dan nasonalisme bagi rakyat Aceh.

Masjid Raya Baiturrahman pertama kali dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612 Masehi.

Bangunan asli dari masjid ini awalnya menggunakan lapisan-lapisan jerami pada bagian atapnya yang merupakan gaya khas arsitektur Aceh.

Ketika terjadi pertempuran dengan Belanda, Masjid Raya Baiturrahman digunakan sebagai benteng pertempuran.

Namun sayangnya, dalam peristiwa yang terjadi pada tanggl 10 April 1873 ini, pasukan Belanda menembakkan suar ke arah atap Masjid Raya Baiturrahman dan menyebabkan masjid menjadi terbakar.

Sebagai tanda maaf dari bangsa Belanda, Jendral Van Swieten pun akhirnya membangun kembali bangunan masjid raya ini pada tahun 1879.

Sebagai arsitek, Jendral Van Swieten menunjuk Gerrit Bruins, lalu L.P Luijks ditunjuk sebagai mandor untuk mengawasi pembangunan masjid yang diserahkan kepada Le A Sie sebagai kontraktornya.

Saat itu, Tengku Qadhi Malikul Adil meletakkan batu pertama pembangunan masjid.

Beliau juga yang akhirnya kemudian menjadi imam pertama di Masjid Raya Baiturrahman yang baru ini.

Pembangunan kembali ini diakhiri pada tanggal 27 Desember 1881 pada masa pemerintahan SUltan Muhammad Daud Syah.

Bangunan masjid ini memakai gaya arsitektur Mughal yang memiliki ciri kubah besar dengan banyak menara.

Kubah yang berwarna hitam itu unikya dibuat dengan sirap kayu keras yang satukan menjadi ubin.

Untuk desain interiornya, masjid ini dibangun dengan dinding dan pilar dengan relief-relief cantik, tangga dan lantai marmernya dari Tongkok, jendela kacanya dari Belgia, batu-batu pondasinya dari Belanda, serta pintu kayunya yang berdekorasi indah disertai lampu gantung dari perunggu.

Pada awalnya, Masjid Raya Baiturrahman hanya punya sebuah kubah dan sebuah menara saja.

Sekarang Masjid Raya Baiturrahman ini sudah memiliki 7 kubah dan 8 menara yang dibangun pada tahun 1935, 1958, dan 1982.

Pada peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004, Masjid Raya Baiturrahman ini termasuk bangunan yang selamat dari terjangan tsunami dan digunakan untuk menampung para korban bencana.

Awalnya banyak masyarakat Aceh yang menolak untuk beribadah di masjid ini karena dibangun oleh musuh mereka, bangsa “kafir” Belanda.

Namun, lambat laun masjid ini sekarang menjadi kebanggaan tersendiri untuk rakyat Aceh.

2. Taman Sari Gunongan

gunongan
Gunongan / sumber indonesia.go.id

Taman Sari Gunongan didirikan oleh Sultan Iskandar Muda yang dipersembahkan kepada permaisurinya yang bernama Putri Pahang atau Putroe Phang.

Putri Pahang dipersunting Sultan Iskandar Muda pada tahun 1615 setelah Kerajaan Pahang takluk kepada kerajaan Aceh.

Sebagai sebuah tradisi yang diamini pada zaman dahulu, pihak yang kalah perang mesti memberikan sejumlah upeti, pajak, dan rampasan-rampasan perang lainnya kepada kerajaan yang menang.

Tradisi ini juga mencakup diserahkannya putri kerajaan kepada kerajaan yang menang sebaga tanda takluk dan biasanya akan dijadikan permaisuri raja.

Sebagai sebuah persembahan untuk sang putri, akhirnya Sultan Iskandar Muda membangunkan sebuah taman yang indah sesuai permintaan putri.

Bangunan itu adalah Taman Sari Gunongan atau Taman Ghairah yang difungsikan sebagai tempat putri dalam menghibur diri apabila dia rindu dengan kampung halamannya.

Taman Sari Gunongan ini banya digunakan sebagai tempat bercengkrama dan bisa juga dipakai sebagai tempat ganti baju setelah permaisuri mandi di sungai yang mengalir di dalam istana.

Terkadang sultan pun juga menghabiskan waktu bersama permaisuri di dalam taman ini sambil membaca buku yang disediakn di perpustakaan di dalamnya selepas berenang, keramas, ataupun mandi bunga.

Taman Sari Gunongan ini dikelilingi air yang bersih dari sungai Krueng Daroy atau SUngai Darul Ashiqi, yang merupakan sungai buatan yang panjangnya mencapai 5 kilometer.

Taman Sari Gunongan memiliki luas 4.760 meter persegi.

Baca juga: Biografi Teuku Umar, Pahlawan Nasional Asal Aceh

3. Masjid Tua Indrapuri

Aceh mempunyai banyak peninggalan masjid kuno yang utamanya di Kabupaten Aceh Besar.

Namun kondisi sekarang, masjid kuno tersebut keberadaannya ada yang sengaja dihancurkan karena didirikan masjid dengan bangunan baru atau hancur karena faktor alam seperti bencana tsunami.

Dari sekian banyak bangunan masjid kuno yang tersisa, hanya ada beberpa masjid yang masih bisa diteliti dan digali informasi sejarahnya.

Di antara masjid itu adalah Masjid Indrapuri.

Masjid ini dinamakan Masjid Indrapuri karena keradaannya di daerah Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar.

Dari Kota Banda Aceh, masjid ini berdiri sekitar 25 kilometer ke arah timur.

Dalam sejarahnya, masjid ini didirikan di atas pertapakan benteng atau bekas candi Hindu milik Kerajaan Lamuri.

Dalam sejarahnya, Kerajaan Lamuri merupakan kerajaan Hindu di daerah Aceh.

Pada abad ke-12 Masehi mereka diserbu oleh rombongan bajak laut Cina yang ingin menaklukkan Kerajaan Lamuri.

Tentu kedatangan para bajak laut ini ditentang oleh raja Kerajaan Lamuri.

Akhirnya pecahlan peperangan anatara bajak laut Cina itu melawan pasukan Kerajaan Lamuri.

Akibat peperangan itu, ternyata membuat pasukan Kerajaan Lamuri menjadi terdesak.

Nah, dalam kondisi itu datanglah seorang ulama Islam yang dikenal dengan nama Teungku Abdullah Lampeuneueun atau Abdullah Kan’an.

Beliau adalah seorang ulama yang asalnya dari Kerajaan Peurlak, Aceh Timur.

Beliau datang ke Kerajaan Lamuri bersama seorang pangeran dari Kerajaan Lingga, Aceh, yang bernama Meurah Johan.

Mereka berdua datang dengan tujuan untuk mengajak raja dan rakyat Kerajaan Lamuri supaya masuk memeluk Agama Islam.

Dengan kondisi yang sudah terjepit tersebut, akhirnya sang raja Kerajaan Lamuri pun mengiyakan tawaran ini.

Akhirnya kerjasama antara Kerajaan Lamuri, Kerajaan Peurlak, dan Kerajaan Lingga berhasil memukul mundur pasukan bajak laut dari Cina tersebut.

Setelah peristiwa ini raja dan rakyat Kerajaan Lamuri memeluk Agama Islam.

Simbol-simbol Agama Hidu satu per satu dihancurkan, termasuk sebuah candi Agama Hindu yang dihancurkan dan dialih fungsikan menjadi bangunan Masjid Indrapuri.

4. Benteng Indrapatra

Benteng Indrapatra merupakan sebuah benteng kuno yang dibangun oleh kerajaan Hindu pertama di Aceh, yakni Kerajaan Lamuri.

Benteng ini sudah ada jauh sebelum pengaru Islam masuk ke tanah rencong.

Saat itu Aceh sudah mulai ramai dengan kedatangan saudagar-saudagar asing yeng bermaksud untuk berdagang dan berlayar di kawasan kepulauan nusantara.

Dengan semakin ramainya posisi Aceh kala itu, maka dipertimbangkanlah untuk dibangun sebuah benteng yang bisa digunakan bila sewaktu-waktu ada musuh yang ingin menyerang dan ingin merebut Aceh.

Pembangunan Benteng Indrapatra ini dimulai sejak abad ke-7 Masehi saat Kerajaan Lamuri diperintah oleh Putra Raja Harsa.

Lazimnya pembangunan benteng perang kala itu, Benteng Indrapatra inipun juga dibangun dengan komponen campuran putih telur, tumbukan kerang, batu gunung, kapur, dan tanah liat.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, benteng ini digunakan oleh Kerajaan Aceh dalam membendung serangan pasukan Portugis.

Saat itu, Laksamana Malahayati memimpin perang ini.

Benteng ini saat ini masih berdiri kokoh di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya.

Jika dilakukan perjalanan dari Banda Aceh, maka harus menempuh jarak sekitar 19 kilometer atau sekita 30 menit untuk mencapai benteng ini.

Menurut penelitian sejarah, awalnya benten ini terdiri dari 3 benteng, namun saat ini hanya tersisa 2 benteng saja.

Satu benteng lagi sudah rusak termakan usia.

Apalagi saat tsunami menerjang Aceh, banyak bagian dari Benteng Indrapatra yang hancur karenanya.

Benteng terbesar di area ini memiliki ukuran 70×70 meter persegi dengan ketinggian 4 meter dan ketebalan tembok benteng mencapai 2 meter.

Di bagian dinding benteng, terdapat lubang pengintai yang menghadap laut.

Di dalam benteng juga terdapat dua buah kubah, yang di dalamnya dibangun sumur air.

Selain menyimpan nilai sejarah yang tinggi, benteng ini juga menyuguhkan pemadangan yang indah.

Posisin Benteng Indrapatra ini persis berada di bibir pantai dengan mengahadap ke laut Selat Malaka.

Tentu dengan letak seperti ini, pemadangan eksotis akan tersaji untuk orang-orang yang mengunjungi Benteng Indrapatra ini.

5. Makam Sultan Iskandar Muda

makam Sultan Iskandar Muda
Makam Sultan Iskandar Muda / sumber kebudayaan.kemdikbud.go.id

Sultan Iskandar Muda merupakan raja Kerajaan Aceh yang membawa kerajaan tersebut pada puncak kejayaan.

Sesudah wafat, Sultan Iskandar Muda dimakamkan di lokasi yang kini berada di Kelurahan Peniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.

Lokasi ini ada di sebelah Mueligoe Aceh atau rumah dinas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dan juga bersebelahan dengan Museum Aceh.

Saat perang Aceh sedang berkobar, makam Sultan Iskandar Muda sempat dihancurkan dan dihilangkan oleh pasukan Belanda.

Penghancuran ini dimaksudkan untuk memutus sejarah rakyat Aceh dengan sejarah kejayaan yang pernah mereka alami ketika SUltan Iskandar Muda memerintah.

Setalah sempat hilang ratusan tahun lamanya, makam Sultan Iskandar Muda akhirnya berhasil ditemukan juga.

Berkat bantuan Pocut Meurah, yang merupakan istri Sultan Mahmud Syah, makam berusia 3 abad tersebut dapat ditemukan pada 19 Desember 1952.

Pocut Meurah mengingat betul lokasi makam tersebut karena memang dia terbiasa berziarah di makam leluhurnya tersebut.

Dia masih ingat jika lokasi makam Sultan Iskandar Muda ada 44 langkah dari tepi Sungai Krueng Daroy.

Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar muda pada tahun 1607 hingga 1636 Masehi.

Pada masa itu Kerajaan Aceh berada pada masa keemasan dan berhasil berada di peringkat ke-5 dunia di antara kerajaan-kerajaan Islam dunia.

Saat itu Aceh berhasil dibangun menjadi bandar perniagaan level internasional yang banyak disinggahi kapal asing.

Para saudagar-saudagar asing ini rata-rata membawa hasil bumi dari Asia untuk dibawa ke kawasan Eropa.

Pada masanya, SUltan Iskandar Mud dikenal sebagai seorang raja yang adil, baik untuk keluarganya sendiri ataupun kepada rakyatnya.

Pernah suatu ketika, putranya yang bernama Meurah Pupok membuat kesalahan besar sehingga dia dihukum pancung di depan umum oleh ayahnya sendiri, yakni Sultan Iskandar Muda.

Peristiwa ini cukup diingat oleh masyarakat Aceh dan lahirlah sebuah pepatah Aceh yang berbunyi “Gadoh Anek Meupat Jirat. Gadoh Adat Pat Tamita“, yang artinya adalah “hilang anak tau makamnya, hilang adat mau cari mana”.

Selain itu dari persitiwa ini, masyarakat juga semakin bangga dengan kehadiran Sultan Iskandar Muda dan mereka menggaungkan kata-kata yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh, yakni “Adat bak Po Temeuruhoom, Hukom bak Syiah Kuala”, yang artinya adalah “Adat dipelihara Sultan, hukum ada pada Syiah Kuala”.

Syiah Kuala adalah seorang ulama besar Aceh dari abad ke-17 yang dikenal juga dengan nama Tengku Abdul Rauf As Singkili, yang dikenal seorang yang ahli dalam bidang ilmu hukum dan keagaaman.

6. Masjid Indrapurwa

Masjid Indrapurwa merupakan masjid kuno yang letaknya ada di Desa Lambadeuk, Kecamatan Pekan Bada, Aceh Besar.

Kalau dari Kota Banda Aceh, Masjid Indrapurwa berada sekitar 10 kilometer ke arah barat.

Untuk menuju ke lokasi Masjid Indrapurwa berada, mesti melewati jalan pasar Ulee Lheu terlebih dahulu.

Kondisi Masjid Indrapurwa ini belum banyak diketahui karena memang minimnya penelitian yang dilakukan pemerintah untuk melacak situs sejarah ini.

Konon, di tempat ini dulu ada beberapa bangunan kuno seperti meunasah yang berfungsi sebagai tempat ibadah.

Namun bangunan kuno tersebut sekarang sudah tidak bisa terlacak lagi.

Secara hystorical, masjid ini didirikan saat Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya, yakni pada abad ke-17 Masehi.

Adalah Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636, saat itu memiliki peranan penting dalam pembangunan-pembangunan masjid di Aceh, termasuk Masjid Indrapurwa ini.

Infrastruktur bangunan Masjid Indrapurwa dibuat dari batu dan kayu, dengan luas bangunan mencapai 10,6×10,6 meter.

Tanah untuk mendirikan Masjid Indrapurwa ini sendiri merupakan tanah waqaf seluas 25×50 meter.

Kondisi yang ada saat ini, konstruksinya sudah dibangun dengan komponen lantai beton, tiang kayu, dinding beton, dan atap seng.

Pada bagian atap, dibuat dengan menerapkan gaya khas “Masjid Aceh” yang memakai model atap tumpang.

Konstruksinya pun dibuat semi permanen, yang mengesankan bangunan utama dan bangunan dasar masjid dibuat terpisah.

Masjid Indrapurwa ini bangunannya mirip dengan Masjid Indrpuri jika dilihat dari sisi dalam, dengan tembik bangunannya dibuat menyerupai benteng pertahanan.

Jika dilihat dari sisi luar, masjid ini bangunannya menyerupai Masjid Teungku di Anjong di Desa Pelanggahan.

Bagian yang masih asli dari Masjid Indrapurwa ini adalah adanya “guci” besar yang berfungsi sebagai tempat cuci kaki sebelum jamaah masuk ke dalam masjid.

Di sampingnya pun juga terdapat sbeuah batu yang kondisinya masih asli, persis ada di samping “guci”.

Sebelum bencana tsunami terjadi, masjid yang punya dua buah anak tangga ini, masih bisa disaksikan keberadaannya.

Namun, masjid ini bukanlah termasuk cagar budaya yang mesti dilindungi oleh pemerintah setempat.

Kawasan Lambadeuk yang merupakan lokasi di mana Masjid Indrapurwa ini berada, merupakan salah satu kawasan yang paling parah diterjang bencana tsunami.

Bersamaan bencana itu pula, masjid kuno ini kini telah hilang dan tak bisa diteliti lagi sejarah bangunannya.

7. Uang Emas Kerajaan Aceh

Pada masa lampau, Kerajaan Aceh sudah memiliki mata uang yang sah untuk kegiatan perdagangan.

Sejarah pemakaian mata uang tersebut berasal dari Kerajaan Samudra Pasai sebagai alat pembayaran.

Tradisi ini berlanjut kepada zaman Kerajaan Malaka, dan Kerajaan Aceh pun turut memeprgunakannya.

Dalam buku berjudul Peuturi Droe Keudroe, disebutkan mata uang Aceh ada beberapa jenis, yakni sebagai berikut.

  • Pound Acheh
  • Ringget Acheh
  • Gupang
  • Tahel
  • Busok
  • Sipeng, sicent

Pentingnya mata uang ini bagi Kerajaan Aceh pernah dibuat kebijakan oleh Sultan Iskandar Muda bahwa perdagangan di Aceh harus memakai koin emas Aceh, bukan memakai mata uang asing.

8. Meriam Kerajaan Aceh

meriam aceh
Meriam Aceh / sumber maa.acehprov.go.id

Pada zaman dulu, Kerajaan Aceh dikenal dengan kemampuannya dalam memproduksi senjata meriam.

Kemampuan spesial ini digunakan untuk membuat persenjataannya sendiri.

Sekarang sisa-sisa peninggalan Kerajaan Aceh yang berupa meriam ini bisa ditemui di sekitar Benteng Indraparta dan Museum Aceh.

Penemuan meriam-meriam ini awalnya diduga dibeli dari Kerajaan Turki Utsmani.

Tapi setelah dilakukan penelitian lebih mendalam, ternyata meriam-meriam ini merupakan produksi Kerajaan Aceh sendiri.

Kemampuan pasukan Kerajaan Aceh dalam membuat meriam memang tidak didapatkan secara otodidak.

Tetapi mereka belajar kepada Kerajaan Turkis Utsmani mengenai bagaimana meriam ini dibuat.

Kerajaan Aceh memang mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Kerajaan Turki Utsmani.

Saat itu, SUltan Seli II, yang merupakan raja Kerajaan Turki Utsmani mengirimkan 700 pasukan dan teknisi untuk membantu Kerajaan Aceh dalam transfer teknologi.

Kesempatan ini tentunya tidak disia-siakan oleh pasukan Kerajaan Aceh, mereka menyerap banyak ilmu tentang persenjataan meriam ini.

Pada akhirnya pasukan-pasukan militer Kerajaan Aceh berhasil menguasai ilmu pembuatan meriam dan mereka akhirnya memproduksi sendiri persenjataan meriam dari bahan kuningan.

Persenjataan semacam ini sangat penting bagi Kerajaan Aceh karena memang posisi mereka sangat strategis yang kapan saja bisa diserang dan diserbu musuh dari segala arah.

Sejak abad ke-17, Kerajaan Aceh patut bangga dengan pasukan-pasukannya karena telah berhasil membuat meriam sendiri.

9. Pinto Khop

Pinto Khop merupakan bangunan sejarah peninggalan Kerajaan Aceh yang lokasinya ada di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.

Bangunan ini cukup populer di Aceh karena bentuk bangunannya yang indah.

Pinto Khop ini dibangun pada masa permerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1607-1636 Masehi.

Pinto Khop sengaja dibangun oleh Beliau sebagai sebuah persembahan untuk istri tercinta, yakni Putroe Phang, untuk melengkapi pembangunan Taman Sari Gunongan.

Putroe Phang merupakan seorang putri Kerajaan Pahang, Malaysia yang diperistri oleh Sultan Iskandar Muda Setelah Kerajaan Pahak takluk kepada Kerajaan Aceh.

Pinto Khop merupakan pintu gerbang menghubungkan istana dengan Taman Sari Gunongan.

Pintu ini dibuat dengan panjang 2 meter dan lebar 3 meter dari bahan kapur.

Taman Sari Gunongan dan Pinto Khop hanya diperuntukkan bagi keluarga istana, di luar itu dilarang masuk ke dalam taman ini.

Taman ini letaknya ada di sekitar Masjid Raya Baiturraman, Banda Aceh, yang jaraknya kurang lebih hanya 1 kilometer.

10. Hikayat Perang Sabi

Hikayat Perang Sabi merupakan karya sastra Aceh yang dibuat dengan tema jihad dan dalam bentuk hikayat.

Hikayat Perang Sabi memiliki dua buah genre, yakni tambeh dan epos.

Untuk jenis tambeh, Hikayat Perang Sabi dibuat oleh para ulama yang isinya mencatumkan nasihat, ajakan, dan seruan untuk jihad fii sabilillah.

Untuk genre epos, Hikayat Perang Sabi banyak mengulas tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Aceh.

Hikayat Perang Sabi dari genre tambeh yang terkenal adalah Haadzil Qishshah Nafsiyyah, yang ditulis pada tahun 1834 dengan menyadur Nashihatul Muslimin.

Ada juga karya lain yang berjudul Hikayat Perang Sabi yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu.

Hikayat Perang Sabi dari genre epos yang terkenal adalah Hikayat Prang Sigli yang ditulis 1878 dan Hikayat Prang Guedong yang ditulis 1898.

Keduanya mengisahkan kepahlawanan para pejuang yang tewas sebagai syuhada.

11. Batu Aceh

Batu Aceh adalah nama populer untuk makam kerajaan Aceh.

Nama ini lebih populer karena makam-makam tersebut memiliki nisan dalam berbagai bentuk.

Keberadaan Batu Aceh ini tentu menunjukkan kualitas Kerajaan Aceh sebagai sebuah kerajaan besar.

Menurut Yatim (1987), ada 3 bentuk nisan yang umum dijumpai di makam Kerajaan Aceh ini, yakni bentuk gabungan “sayap bucranc”, bentuk nisan persegi panjang, dan bentuk nisa bundar atau silindris.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara, pada tahun 2004 situs Batu Aceh tercatat sebagai berikut.

  • Makam Kandang XII
  • Komplek Makam Raja Bugis
  • Makam Raja Reubah
  • Makam kandang Blang atau Makam Saidil Mukamil
  • Komplek Makam Meurah Pupok
  • Komplek Makam Jamaloi
  • Komplek Makam Kandang Meuh
  • Makam Tgk. Dianjong
  • Komplek Makam Tuan Dikandang
  • Komplek Makam Raja-Raja Kampung Pande
  • Komplek Makam Putroe Ijo
  • Komplek Makam Tgk. Di Leupu
  • Komplek Makam Tgk. Abdullah Arief
  • Komplek Makam Lampulo I
  • Komplek Makam Lampulo II
  • Komplek Makam Kuna Lampulo III
  • Komplek Makam Kampung Jawa
  • Komplek Kuala Makam
  • Makam Tgk. Di Bitai
  • Makam Tuan Di Pakeh
  • Komplek Makam Raja Raden
  • Makam Tuan Di Kandang
  • Komplek Makam Kuna Geuceu Iniem
  • Komplek Makam Lamteumen
  • Komplek Makam Peteu Meurah
  • Komplek Makam Jirat Manyang
  • Komplek Makam Syiah Kuala
  • Komplek Makam Tgk Salahuddin/Salehuddin
  • Komplek Makam Tunggai II
  • Komplek Makam Poteumeurehom
  • Komplek Makam Plak Pling
  • Makam Raja Jalil
  • Makam Kuna di Belakang Pos
  • Komplek Makam Kuna Darussalam

Dari bentuk nisan yang dipakai pada makam-makam tersebut, nisan dengan bentuk polos umumnya dipakai utuk makam Teungku atau ulama.

Sementara, nisan yang bentuknya persegi panjang dengan mahkota bersusun dua atau tigfa dan bentuk bundar atau silindris segi delapan dengan bunga lidah api dan mahkota bersusun dipakai untuk para bangsawan.

Sebagian besar dari nisan Batu Aceh tersebut tidak diketahui pemiliknya.

Hanya raja dan para ulama terkenal saja yang namanya terpahat pada batu nisan.

Batu-batu nisan ini umumnya memili banyak hiasan berupa pahatan dengan pola geometris dan pahatan ayat-ayat suci Al Qur’an.

Saat terjadi bencana gempa bumi dan tsunami 2004, banyak makam kuno Aceh yang porak-poranda.

Salah satunya adalah makam kuno di Kampong Pande, makam Syiah Kuala, makam Putroe Ijo, makam di Lampulo dan sebagainya.

Sampai saat inipun, penanganan akibat hancurnya komplek makam ini belum selesei dilakukan.

12. Masjid Teungku Di Anjong

Masjid Teungku Di Ajong adalah sebuah masjid peninggalan Kerajaan Aceh yang dibangun pada abad ke-18 Masehi.

Adalah seorang ulama bernama Syekh Abubakar Bin Husin Bafaqih yang mempunyai inisiatif pembangunan masjid ini.

Beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Arab Saudi atau Hadramaut.

Masjid Teungku DI Ajong berada di kelurahan Palanggahan, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.

Berdiri di atas tanah wakaf seluas 4 Ha, masjid ini awalnya dibangun dengan menggunakan struktur bangunan semi permanen.

Gaya arsitekturnya menerapkan gaya timur tengah, dengan atap model tumpang yang dibuat menyerupai gaya masjid-masjid di Aceh.

Masjid ini dibangun dengan menggunakan kayu, semen, papan, batum seng, dan mar-mar.

Masjid ini dibangun lebih tepatnya adalah pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah, yang memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1287-1290 Hijriah atau 1870-1874 Masehi.

Beliau terkenal sebagai seorang ayang arif bijaksana, serta seorang alim yang peduli pada tata kelola hukum Islam.

Makanya, perkembangan Agama Islam juga diperhatikan oleh dia, termasuk pada hal pembangunan masjid ini.

Masyarakat setempat memberikan nama Masjid Teungku Di Anjong dikarenakan untuk mengenang serta menghormati tokoh pendiri masjid tersebut.

Teungku Di Anjong merupakan gelar yang diberikan kepada Syekh Abubakar Bin Husin Bafaqih yang maknanya Teungku yang “dianjong” atau yang disanjung atau yang dimuliakan.

Syekh Abubakar Bin Husin Bafaqih dulunya memakai rumahnya untuk melakukan aktifitas pengajian dan asrama untuk murid-muridnya.

Dalam perkembangan waktu, ternyata jumlah murid yang datang belajar agama Islam kepadanya ternyata makin lama semakin bertambah banyak.

Tak ayal, rumahnya pun akhirnya sudah tidak bisa memuat ataupun menambah murid baru lagi.

Akhirnya beliau berinisiatif untuk mendirikan sebuah masjid yang bisa dimanfaatkan dalam berbagai hal, misalkan untuk pengajian, musyawarah, dan tentunya sebagai tempat ibadah.

Untuk menyebut nama masjid ini, masyarakat setempat menyebutnya denga Masjid Teungku Di Anjong sesuai julukan yang diberikan kepada Syekh Abubakar Bin Husin Bafaqih.

Dalam perjalanannya, masjid ini juga difungsikan sebagai markas perjuangan kemerdekaan oleh laskar pejuang Aceh untuk mempertahakna kemerdekaan Indonesia dari serangan penjajah Belanda.

Baca juga: Peninggalan Kerajaan Majapahit

Nah, itulah tadi sejarah Kerajaan Aceh yang sengaja kami sajikan hanya buat kamu.

Jika kamu punya komentar ataupun hal-hal yang bisa di sharing, kamu bisa corat-coret di kolom komentar di bawah ini ya.

Jangan lupa untuk share juga artikel ini supaya teman-teman kamu bisa membacanya juga, ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *