Kerajaan Tarumanegara: Asal Mula, Masa Kejayaan, Silsilah, Kehidupan dan Peninggalan

candi blandongan peninggalan kerajaan tarumanegara
candi blandongan peninggalan kerajaan tarumanegara / sumber kebudayaan.kemdikbud.go.id
5/5 - (1 vote)

Balaibahasajateng, Kerajaan Tarumanegara: Asal Mula, Masa Kejayaan, Silsilah, Kehidupan dan Peninggalan – Kerajaan Tarumanegara adalah salah satu kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Indonesia.

Eksistensi kerajaan ini ditandai dengan ditemukannya 7 prasasti di Jawa Barat.

Bukti sejarah itu akhirnya mengungkapkan bahwa kejayaan Indonesia pernah tercapai di masa lampau di tangan Kerajaan Tarumanegara.

Menelisik Kerajaan Tarumanegara tentu akan mengingatkan kita pada pelajaran sejarah zaman sekolah dulu.

Tentang bagaimana pengaruh agama Hindu dari India ke bumi Nusantara, dan pengaruh itulah yang berimplikasi baik terhadap Indonesia di masa lampau.

Table of Contents

Awal Mula Kerajaan Tarumanegara

Sumber sejarah menyebutkan bahwa kerajaan ini berdiri pada tahun 358 M. Kerajaan ini didirikan oleh Jayasingawarman dari Salankayana, India.

Ia dulu adalah seorang maharesi dan mengungsi ke Indonesia bersama beberapa penduduk yang wilayahnya ditaklukkan Samudragupta.

Raja Dewawarman VIII yang saat itu memerintah Salakanagara menerima Jayasingawarman dan beberapa pengungsi lain untuk tinggal dan menetap di wilayah kerajaannya.

Jayasingawarman tinggal bersama beberapa pengungsi membuka kawasan pemukiman di dekat sungai Citarum. Ia menamai wilayah ini sebagai Tarumadesya.

Kedekatan Jayasingawarman dengan keluarga kerajaan Salakanagara, kemudian mempertemukannya dengan sang putri dan membuatnya jatuh hati. Jayasingawarman akhirnya menjadi menantu Raja Dewawarman VIII.

Kemudian seiring berjalannya waktu penduduk dari desa lain berpindah ke Tarumadesya.

Penduduknya kian banyak dan hampir setingkat dengan Negara.

Kemandirian Tarumadesya inilah yang akhirnya mencetuskan Jayasingawarman untuk mendirikan kerajaan.

Matangnya kerajaan Tarumanegara didukung dengan Raja Dewawarman VIII yang akhirnya memilih bergabung.

Kerajaan Salakanagara akhirnya menjadi kerajaan kecil di bawah pimpinan Kerajaan Tarumanegara.

Wilayah kekuasaannya meliputi Banten, Jakarta, Bogor hingga Cirebon.

Baca juga: Masa kejayaan Kerajaan Medang Kamulan

Masa Keemasan

Jayasingawarman memerintah hingga tahun 382 dan kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Dharmayawarman.

Tidak banyak yang tertulis dalam Naskah Wangsakerta saat Tarumanegara dipimpin oleh Dharmayawarman.

Akan tetapi cucu dari Jayasingawarman, Raja Purnawarman, merupakan pemimpin yang paling terkenal di Kerajaan ini.

Ia berhasil menaklukan wilayah Jawa Barat dan sebagian kecil wilayah Jawa Tengah. Raja Purnawarman berhasil membawahi 48 kerajaan kecil dari kawasan Salakanagara (Pandeglang) hingga ke Purbalingga.

Purnawarman tumbuh menjadi Raja yang cakap dengan menyusun Undang Undang kerajaan, aturan angkatan perang, dan mengabadikan silsilah dinasti.

Sikapnya yang merakyat dan bijaksana membuat Kerajaan Tarumanegara disegani pada zamannya.

Purnawarman berhasil membangun jalur perdagangan seperti pelabuhan dan dermaga sungai. Proyek pembangunan Raja Purnawarman antara lain:

  • Tahun 410 M: memperbaiki kali Gangga-Cisuba. Sungai ini diperkirakan ada di Cirebon, yang saat itu termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Indraprahasta.
  • Tahun 412 M: dibawah kepemimpinan Purnawarman, kali Cupu yang terletak di kerajaan Cupunagara diperbaiki dan diperindah hingga mengalirkan air ke istana kerajaan.
  • Tahun 413 M: proyek pembangunan Raja Purnawarman di kali Sarasah atau kali Manukrawa berhasil dibangun di Cimanuk.
  • Tahun 419 M: Purnawarman memerintahkan untuk memperdalam kali Citarum, sungai terbesar di Wilayah kerajaan Tarumanagara.

Jalur perairan itulah yang membawa hubungan dagang kerajaan Tarumanegara dengan Negri tirai bambu berdampak positif.

Dibawah bimbingannya, kerajinan tangan buatan rakyatnya banyak disukai oleh penduduk dari Tiongkok.

Menurut prasasti Tugu, Raja Purnawarman juga pernah membuat kebijakan untuk membangun saluran Gomati.

Yakni sebuah sungai dengan luas 6122 busur atau 12 kilometer dalam waktu 21 hari. Sungai ini mengairi wilayah Pandeglang dan Bogor.

Baca juga: Peninggalan kerajaan Medang Kamulan

Silsilah Kerajaan Tarumanegara

1. Jayasinghawarman

Ia adalah raja pertama di kerajaan Tarumanegara. Penyerahan kerajaan Salakanegara ke tangannya kemudian merubah sistem pusat pemerintahan.

Ibukota Salakanegara yang tadinya berada di Rajatapura, berpindah ke tepi sungai Citarum atas perintahnya.

Menurut catatan para ahli Rajatapura atau kota Perak, diperkirakan berlokasi di Pandeglang Banten.

Hal itu dibuktikan dengan adanya naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 1, halaman 154, terungkap yang diungkapkan sebagai berikut:
…//hana pwa dewa
warman wamsanyakrawar
ting rajya salakana-
gara i bhumi jawa ku-
lwan/ i sedertg kitha-
rajyanya ngaran rajata-
pura ri tina ning sagara//

yang artinya:

“Dewawarman memerintah kerajaan Salakanagara di Bumi Jawa Barat, dengan ibukota kerajaan bernama Rajatapura, (terletak) di tepi laut”.

Adapun catatan dari seorang arkeolog, Claude Guillot, yang menyebuthkan bahwa perbedaan karakteristik antara arca yang ditemukan di teluk Banten memiliki perbedaan karakteristik dengan kerajaan Padjajaran.

Ia menyimpulkan bahwa ada kerajaan Hindu di tanah Sunda yang usianya jauh lebih tua dari kerajaan Padjajaran. Catatan itu kemudian diperkuat dengan topografi peta temuan Bangsa Belanda yang pernah dibuat tahun 1938.

2. Dharmayawarma

Pemimpin kerajaan Tarumanegara selanjutnya adalah putra dari Jayasinghawarman, Dharmayawarma.

Tidak banyak catatan tentang dirinya.

Hanya saja naskah Wangsakerta menuliskan bahwa ia pernah memerintah antara tahu8n 382 M-395 M.

3. Purnawarman

Raja Purnawarman merupakan pemimpin paling terkenal di kerajaan Tarumanegara.

Ia begitu banyak membanung infrastruktur untuk kerajaan Tarumanegara maupun kerajaan kecil di wilayahnya.

Pada pemerintahannya, Purnawarman juga sempat memindahkan Ibukota kerajaan ke Sundapura.

Nama inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal tanah Sunda di Jawa Barat hingga sekarang.

Pada masa pemerintahannya, ada 48 kerajaan kecil yang berhasil ditaklukan.

Sejak tahun 395 M hingga 434 M, setidaknya masa kekuasaannya ada di wilayah Pandeglang hingga kali Brebes Jawa Tengah.

Setelah kepemipinannya berakhir, kerajaan Tarumanegara digantikan ke Putranya yang bernama Wisnuwarma yang memimpin antara tahun 434 M-455 M.

Setelah itu cucu dari Purnawarman, Indrawarman, memimpin pada tahun 455 M-515 M.

Kemudian pada tahun 515 kursi kerajaan berganti ke Candrawarman hingga tahun 535 M.

4. Suryawarman

Ia adalah pengganti Candrawarman dan merupakan raja ketujuh dari kerajaan Tarumanegara.

Ia terkenal karena berhasil membangun pemerintahan di kawasan Timur tanah Sunda.

Wilayah itu meliputi Limbangan Garut dan Bandung.

Perkembangan di wilayah Bandung dan Limbangan akhirnya berdampak pada didirikannya kerajaan Galuh pada tahun 612 M.

Raja Suryawarman kemudian memiliki menanti bernama Manikmaya, yang di masa mendatang memiliki cicit dan menjadi pendiri kerajaan Galuh.

5. Linggawarman

Ia adalah raja terakhir di kerajaan Tarumanegara. Bisa dikatakan kerajaan ini runtuh di tangan kekuasaannya.

Linggawarman, memerintah pada tahun 666 M hingga tahun 669 M.

Masalah besar pada pemerintahan Linggawarman adalah pewarisnya yang bukan laki-laki.

Ia tidak memiliki putra, kedua anaknya lahir dengan jenis kelamin perempuan.

Akhirnya tongkat kekuasaan kerajaan Tarumanegara diberikan kepada menantunya yang bernama Tarusbawa, suami dari Putri Minarsih.

Lalu Putri Socakancana menikah dengan Daputa Hyang Sri, pendiri kerajaan Sriwijaya.

Ambisi Tarusbawa untuk mengembalikan kejayaan masa Purnawarman kandas.

Tarusbawa mendirikan kerajaan Sunda yang diyakininya akan mengilhami masa keemasan Tarumanegara.

Akan tetapi, kebijakan itulah yang akhirnya memisahkan Tarumanegara dengan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Perpecahan itu kemudian menghasilkan kerajaan Galuh yang tidak menyetujui adanya kebijakan tersebut.

Selain itu kerajaan Sriwijaya dari Sumatra yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, juga mempengaruhi runtuhnya kerajaan Tarumanegara.

Kehidupan Masa kerajaan

Kehidupan Politik

Masa keemasan kerajaan Tarumanegara terbukti dengan kepandaian Raja Purnawarman ketika berhasil menaklukan tatar Sunda. Kerajaan-kerajaan kecil di bawah naungannya yang bertahan hingga puluhan tahun, adalah bukti kesuksesannya di dunia Politik.

Kehidupan Sosial

Meski memiliki hubungan yang kuat dengan kepala pemerintah di kerajaan-kerajaan kecil, akan tetapi Raja Purnawarman juga terkenal dekat dengan kaum Brahmana (rohaniwan).

Dalam prasasti tugu tertulis bahwa Raja Purnawarman yang berhasil membangun proyek saluran Gomati, merayakan syukur kepada sang Pencipta dengan menyumbangkan 1000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.

Kehidupan Ekonomi

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat dibawah kepemimpinan Kerajaan Tarumanegara bisa dikatakan baik.

Hal itu dibuktikan dari banyaknya infrastruktur seperti sungai dan dermaga yang dibangun untuk membantu masyarakatnya agar hidup sejahtera.

Perkebunan dan pertanian tumbuh subur karena saluran air meluas.

Pembangunan saluran Gomati untuk menghindari banjir dan penganggulangan kemarau juga telah menjadi simbol kemajuan kerajaan Tarumanegara.

Dermaga sebagai jalur transportasi darat dibuat sebagai kemudahan transportasi.

Tentunya upaya ini dapat menjaga relasi antara kerajaan-kerajaan kecil dan memperluas jalur perdagangan.

Bukti diplomasi diplomasi-ekonomi antara kerajaan Tarumanegara dan kerajaan di Tiongkok terbukti dengan adanya catatan dalam buku yang bertajuk ‘Fa-Kao-Chi‘.

Di dalam buku tersebut tertulis bahwa ada utusan dari To- lo-mo (yang jika diterjemahkan menjadi Tarumanegara), sebuah negri dari Selatan yang mengunjungi Dinasti Sui. Kemudian catatan Dinasti Tang juga menerima kehadiran tamu dari To- lo-mo pada tahun 666 dan 669.

Baca juga: Letak Kerajaan banten

Prasasti yang membuktikan Kerajaan Tarumanegara benar-benar ada

1. Prasasti Ciareteun

Prasasti Ciareteun
Prasasti Ciareteun / sumber kebudayaan.kemdikbud.go.id

Prasasti Ciareteun, bukti sejarah yang menyatakan kejayaan Raja Purnawarman menaklukan tanan Sunda.

Bukti sejarah ini ditemukan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga budaya dan sejarah bentukan kolonial Belanda. Mereka menemukannya pada tahun 1863 di aliran sungai Ciareteun, Bogor. Akan tetapi dibiarkan di sungai begitu saja, sehingga pada tahun 1893 saat banjir menerjang batu tersebut hingga terguling.

Kemudian pada tahun 1903 dikembalikan lagi posisinya seperti keadaan semula. Setelah Indonesia merdeka, barulah pada bulan Juli 1981 prasasti Ciareteun diangkat ke tempat yang lebih aman. Tepatnya di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor.

Jika Anda ingin menyaksikan secara langsung prasasti Ciareteun, Anda bisa menyambanginya ke barat daya kota Bogor. Kurang lebih harus menempuh perjalanan 19 kilometer dari pusat kota.

Prasasti Ciareteun terbuat dari batu andesit dengan tinggi 1,5 meter dan diameternya sekitar 72 cm. Sesuai dengan permukaannya, parah ahli sejarah mengklasifikasikannya menjadi prasasti Ciaruteun-A dan prasasti Ciaruteun-B. Permukaan prasasti Ciaruteun-A bertuliskan aksara palawa dan Sansakerta sebanyak 4 baris seperti puisi India dengan irama anustubh. Tulisan itu berbunyi:

Baris 1 vikkrantasya vanipateh
Baris 2 srimatah purnnavarmmanah
Baris 3 tarumanagarendrasya
Baris 4 visnor=iva padadvayam

Prasasti inilah yang menjadi bukti bahwa Raja Purnawarman merupakan pemimpin terbaik kerajaan Tarumanegara. Terjemahan aksara palawa itu berbunyi: “Kedua telapak kaki yang seperti Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termasyur, Purnawarman penguasa Tarumanagara”

Teks yang terbaca itu hanya sebagian kecil. Masih ada tulisan yang belum bisa diterjemahkan oleh para ahli, karena ada bagiannya yang menggunakan aksara kursif – yang berbeda dengan aksara palawa. Sehingga menyulitkan para ahli untuk menerjemahkannya.

Sedangkan pada bagian prasasti Ciaruteun-B terlihat ukiran telapak kaki dan goresan seperti matahari. Para penjaga situs bersejarah ini meyakini bahwa gambar matahari dimaknai sebagai ‘srengenge’ dari Shang Hyang E. Di bumi, matahari bak penguasa bumi yang menentukan aktifitas manusia.

Kata matahari dalam bahasa Jawa disebut sebagai srengenge yang berasal dari Shang Hyang E, Matahari yang menjadi penguasa hari. Dalam bahasa jawa e’suk untuk pagi tengah’e untuk siang dan so’re untuk sore yang menunjukan kekuasaan sang mentari yang hadir melalui huruf ‘e.

2. Prasasti Pasir Koleangkak

Prasasti Pasir Jambu atau Pasir Koleangkak ditemukan pada tahun 1854 oleh Jonathan Rigg, pengusaha dan budayawan kebangsaan Belanda. Prasasti ini kemudian diberi nama sesuai dengan lokasi dan tempat ditemukannya, yakni gunung Batutulis (Pasir Koleangkak). Sementara bagi orang yang belum ahli menyebutkan Koleangkak, menyebutnya sebagai prasasti Pasir Jambu. Sebuah kawasan dimana prasasti ini ditemukan yaitu Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

Bentuk prasasti ini adalah batu yang nyaris mirip dengan segitiga, dengan ukuran 2-3 meter. Di permukaan prasasti terdapat aksara Palawa dalam bahasa sansakerta sepanjang dua baris. Menurut sejarawan, prasasti ini dibuat sekitara abad ke-5. Sama seperti Prasasti Ciareteun, di permukaan batu terdapat ukiran jejak telapak kaki.

Aksara yang tertulis di atas prasasti Koleangkak:

Baris 1: sriman=data krtajño narapatir=asamo yah pura [ta]r[u]maya[m] | namna sripurnnavarmma pracuraripusarabhedadyavikhyatavarmmo |

Baris 2: tasyedam=padavimbadvayam=arinagarotsadane nityadaksam | bhaktanam yandripanam=bhavati sukhakaram salyabhutam ripunam

Jika diterjemahkan memiliki makna:

“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya-Yang Termashur Sri Purnnawarman-yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya.

3. Prasasti Kebonkopi

Prasasti ini ditemukan pada awal abad ke-19, saat proyek penebangan hutan untuk dialihkan menjadi kebun kopi. Tepatnya di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Namun sebelumnya prasasti ini juga pernah dikemukakan oleh N.W. Hoepermans melalui laporannya pada tahun 1864. Kemudian catatan sejarah ini berlanjut ditulis oleh tokoh-tokoh lain J.F.G Brumund (1868), A.B. Cohen Stuart (1875), P.J Veth (1878, 1896), H. Kern (1884, 1885, 1910), R.D.M. Verbeek (1891), dan J.Ph. Vogel (1925).

Nama prasasti ini dibuat sesuai dengan dibangunnya proyek pada zaman itu, Kebonkopi. Prasasti ini dibuat dari batu andesit berbidang rata, beraksara Pallawa, berbahasa Sansekerta. Sepintas bentuk prasasti ini sloka dan dilengkapi dengan gambar telapak kaki gajah. Meski pahatannya tidak terlalu tebal seperti prasasti kerajaan Tarumanegara yang lain, akan tetapi ahli sejarah masih bisa menerjemahkannya. Aksara dalam prasasti tersebut adalah:

— — jayavisalasya tarume(ndra)sya ha(st)ina? — — (°aira) vatabhasya vibhatidam=padadvaya? ||

Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi:

“Di sini tampak sepasang tapak kaki … yang seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam … dan (?) kejayaan”.

Prasasti ini tidak dipindahkan sama sekali. Masih bertahan di posisi aslinya. Hanya saja saat ini sudah dinaungi bangunan cungkup.

4. Prasasti Tugu

prasasti tugu
Prasasti tugu / sumber indonesia.go.id

Prasasti ini merupakan bukti sejarah terlengkap dari kerajaan Tarumanegara. Lewat prasasti Tugu inilah, para sejarawan dapat menyimpulkan kejayaan masa pemerintahan Raja Purnawarman.

Pada prasasti ini, tertulis penggalian sungai Candrabaga dan penggalian sungai Gomati oleh Rajadirajaguru. Tertulis pula penggalian sungai Gomati yang mencapai 6112 tombak atau 12 kilometer yang diperintahkan oleh Raja Purnawarman pada masa pemerintahannya yang ke-22.

Di permukaan prasasti Tugu pula tertulis bahwa tujuan dibuatnya saluran Gomati untuk menanggulangi banjir dan kekeringan. Artinya, pengetahuan Raja Purnawarman dan masyarakat pada zaman itu sudah tergolong maju.

Saat ditemukannya prasasti itu, Indonesia masih dipimpin oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Dan pada tangal 4 Maret 1879 lembaga sejarah-kebudayaan bentukan pemerintah kolonial, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, mengusulkan agar prasasti itu disimpan di museum.

Kemudian pada tahun 1911 atas usaha P. de Roo de la Faille, prasasti ini dipindahkan ke museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang kini menjadi museum Nasional.

Setelah Indoensia merdeka, pada tahun 1973 sejarawan menggali lebih dalam lagi jejak sejarah di sekitar titik penemuan prasasti Tugu. Hasilnya, mereka menemukan pecahan gerabah dari berbagai jenis pola hias dan ukuran yang sama dengan gerabah Kompleks Buni.

Prasasti tugu dibuat dari batu andesit yang menyerupai telur setinggi 1 meter. Terdapat aksara Palawa sepanjang lima baris, berbahasa Sansakerta. Tiap barisnya terdapat gambar tiang dan diperkirakan sebagai pembatasan antar kalimat. Bentuk tulisannya mirip dengan prasasti Cidanghiang, sehingga diperkirakan dibuat pada abad pertengahan ke-5.

Kini titik penemuan prasasti Tugu masuk di wilayah Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.

Aksara yang tertulis di prasasti Tugu adalah:

Baris 1: || pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyata? purim prapya

Baris 2: candrabhagarnnavam yayau || prawarddhamana dvavinsad vatsara sri gunaujasa narendradhvajabhutena

Baris 3: srimata purnnavarmmana || prarabhya phalgune mase khata krsnastasmi tithau caitra suklatrayodasyam dinais siddhaikavinsakaih

Baris 4: °ayata sadsahasrena dhanusam sasatena ca dvavinsena nadi ramya gomati nirmalodaka || pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim

Baris 5: brahmanair ggosahasrena prayati kradaksina ||:||o||:||

Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi:

“Dulu (sungai yang bernama) Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan mempunyai lengan kencang dan kuat (yakni Raja Purnnawarman) untuk mengalirkannya ke laut, setelah (sungai ini) sampai di istana kerajaan yang termahsyur.

Di dalam tahun ke-22 dari takhta Yang Mulia Raja Purnnawarman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (kini) beliau menitahkan pula menggali sungai yang permai dan berair jernih, Gomati namanya, setelah itu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Nenekda (Sang Purnnawarman). Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal 8 paroh-gelap bulan Phalguna dan selesai pada hari tanggal 13 paro-terang bulan Caitra, jadi hanya 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6122 dhanus (busur) [= lk. 11 km] Selamatan dilakukan oleh para brahmana disertai 100 ekor sapi yang dihadiahkan.” Prasasti Tugu dalam kondisi relatif baik dan terawat. Kini prasasti tersebut menjadi bagian dari koleksi Museum Nasional

5. Prasasti Pasir Awi

Prasasti ini ditemukan di selatan bukit Pasir Awi (± 559 mdpl) di hutan perbukitan Cipamingkis Kabupaten Bogor.

Lokasi prasasti ini berada di bukit yang tinggi dan melewati jalan berliku, sehingga sulit bagi sejarawan untuk memindahkannya ke museum.

Keberadaan prasasti ini telah diungkap oleh arkeolog asal Belanda, N.W. Hoepermans. S, pada tahun 1854.

Sama seperti prasasti kerajaan Tarumanegara lainnya, permukaan prasasti Pasir Awi juga dilengkapi dengan ukiran tapak kaki, yang menghadap ke arah timur dan utara.

Namun sayang hingga saat ini aksara yang tertulis di batu itu tidak bisa diungkap oleh para arkeolog.

Namun terdapat piktograf yang bergambar daun serta buah-buahan.

Seorang peneliti bernama Rogier Diederik Marius Verbeek meyakini bahwa gambar tersebut menggambarkan tahun.

6. Prasasti Muara Cianten

Nama prasasti dibuat berdasarkan titik lokasi ditemukannya bukti sejarah kerajaan Tarumanegara ini, yaitu di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Penemuan prasasti ini pertama kali diungkap oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864.

Prasasti Muara Cianten dibuat dari batu andesit berbentuk oval dengan ukuran 2,7 x 1,4 x 1,4 meter.

Ditulis dengan aksara sangkha, dan belum ada yang mampu menerjemahkan prasasti ini.

Karena saat ditemukan prasasti ini dalam kondisi kurang baik dan terawat.

Pahatan hurufnya juga terlihat aus. Diduga karena siklus air di tepi sungai Cianten, tempat prasasti ini ditemukan, turut mempengaruhi kondisi permukaan batu.

Baca juga: Peninggalan Kerajaan Kediri

7. Prasasti Cidanghiang atau Lebak

Bukti eksistensi kerajaan Hindu di tanah Sunda ini pertama kali ditemukan oleh Kepala Dinas Purbakala Toebagoes Roesjan pada tahun 1947. Sesuai dengan namanya prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang, Lebak, Munjul, Pandeglang.

Prasasti ini merupakan batu andesit dengan ukuran 3 x 2 x 2 meter, dengan aksara Palawa dan berbahasa Sansakerta sebanyak 2 baris. Jika diperhatikan dengan seksama, ada penulisan huruf yang mirip dengan pahatan prasasti Tugu.

Kondisi prasasti sudah berlumut, ada bagian batu yang sudah pecah dan beberapa huruf hilang. Namun masih ada puing-puing kata yang sekiranya bisa diterjemahkan. Tulisan itu adalah:

Baris 1: vikranto ‘yam vanipateh | prabhuh satyapara[k]ramah.

Baris 2: narendraddhavajabhutena | srimatah purnnavarmanah.

Bila diartikan ke bahasa Indonesia menjadi:

“Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia Purnnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *