Tari Gandrung Banyuwangi: Sejarah, Asal, Makna, Gerakan dan Properti!

tari gandrung berasal dari
Tari gandrung Banyuwangi / sumber banyuwangikab.go.id
5/5 - (1 vote)

Balaibahasajateng.web.id, Tari gandrung: Sejarah, Asal, Makna, Gerakan dan Properti – Tari Gandrung Banyuwangi adalah tarian tradisional yang berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Tarian ini menggabungkan unsur musik, tarian, dan drama. Tari Gandrung Banyuwangi telah menjadi bagian penting dari budaya dan tradisi Banyuwangi sejak abad ke-19.

Istilah Gandrung sendiri bisa dimaknai dengan terpikat. Dinamakan Gandrung karena tarian ini adalah bentuk terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri. Ia adalah Dewi Padi yang diyakini dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Tari Gandrung Banyuwangi adalah seni tradisi yang digelar oleh masyarakat sebagai bentuk ungkapan rasa syukur di setiap habis panen. Penari Gandrung (Wanita) menari bersama atau berpasangan dengan Pemaju yakni para tamu laki-laki. Pemaju dikenal juga dengan “Paju”.

Dalam perkembangannya, Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara. Di acara perkawinan, pethik laut, khitanan dan pada acara Hari Kemerdekaan RI. Tidak jarang juga disajikan pada acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya, baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.

Daftar Isi

  1. Sejarah Tari Gandrung
  2. Makna Tari Gandrung
  3. Gerakan Tari Gandrung
  4. Busana Tari Gandrung
  5. Tari Gandrung Wanita
  6. Penutup

Sejarah Tari Gandrung

Kesenian ini diketahui telah ada sejak pembangunan ibukota Blambangan sebagai pengganti Pangpang (Ulu Pangpang). Ditandai pembukaan Hutan Tirtagondo (Tirtaarum) yang diprakarsai oleh Mas Alit, bupati yang dilantik pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulu Pangpang.

Mengenai asalnya, seperti tertulis dalam makalah Joh Scholte. “asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain kendang dan terbang. Sebagai penghargaan mereka diberi hadiah beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong.” (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”).

Apa yang ditulis pleh Joh Scholte dalam makalahnya tersebut juga senada dengan cerita tutur turun temurun. Dikatakan juga bahwa tari ini semula dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang).

Mereka berkeliling setiap hari mempertunjukkan Tarian Gandrung pada sisa-sisa rakyat Blambangan di sebelah timur. Kabarnya jumlah rakyat tinggal sekitar lima ribu jiwa. Ini diakibatkan oleh penyerbuan kompeni tahun 1767 untuk merebut Blambangan dari kekuasaan Mengwi.

Dalam hal ini Kompeni dibantu oleh pihak Mataram dan Madura. Peperangan terus terjadi hingga berakhirnya Perang Bayu atau Puputan Bayu yang sadis, keji dan brutal pada tanggal 11 Oktober 1772. Perang tersebut dimenangkan oleh Kompeni, pihak penjajah Belanda.

Para penari Gandrung menerima imbalan beras atau hasil bumi. Imbalan yang didapat disumbangkan pada mereka yang keadaannya memprihatinkan. Yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup di hutan-hutan dengan segala penderitaan akibat perang.

Kemunculan tari ini dimanfaatkan juga sebagai ajakan kepada sisa-sisa rakyat yang tercerai berai. Agar mereka mau kembali ke kampung halaman untuk memulai membentuk kehidupan baru, hingga selesai dibabadnya Hutan Tirtaarum.

Terdapat juga sejumlah sumber yang mengatakan bahwa kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan. Atau, untuk mengiringi upacara memohon keselamatan. Upacara tersebut berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.

Banyuwangi adalah nama ibukota yang baru tersebut. Penamaannya disesuaikan dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan lahirnya kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat Blambangan.

Dalam Puputan Bayu rakyat Blambangan (kini; Suku Osing) benar-benar telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni. Mereka ingin membangun kembali Bumi Blambangan. Khususnya di sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni.

Baca juga: Properti tari Gantar

Makna Tari Gandrung

Gerakan Tari Gandrung Banyuwangi
Gerakan Tari Gandrung Banyuwangi / sumber banyuwangikab.go.id

Tari Gandrung Banyuwangi memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Banyuwangi. Tarian ini biasanya dipentaskan dalam acara-acara adat atau upacara keagamaan sebagai wujud rasa syukur dan penghormatan terhadap para dewa dan leluhur.

Selain itu, tarian ini juga memiliki makna sebagai bentuk ungkapan cinta dan kasih sayang antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesama manusia, dan antara manusia dengan alam sekitar. Melalui gerakan-gerakan yang lembut dan indah, penari tari Gandrung Banyuwangi menggambarkan keindahan alam, kebesaran Tuhan, serta kedamaian dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.

Dalam konteks sosial budaya, tari Gandrung Banyuwangi juga memiliki makna sebagai simbol kebersamaan dan persatuan. Tarian ini sering dimainkan oleh sekelompok penari, baik laki-laki maupun perempuan, yang bekerja sama untuk menciptakan sebuah kesatuan gerakan yang indah dan harmonis. Hal ini mencerminkan pentingnya kerjasama dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara keseluruhan, tari Gandrung Banyuwangi memiliki makna yang sangat dalam dan penting bagi masyarakat Banyuwangi. Tarian ini tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya yang harus dilestarikan, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat ikatan sosial dan spiritual antara manusia, Tuhan, dan alam sekitar.

Baca juga: Tari Seudati berasal dari

Gerakan Tari Gandrung

Gerakan tari yang khas dari Tari Gandrung Banyuwangi meliputi gerakan-gerakan seperti:

  1. Gerakan awal: Tarian dimulai dengan gerakan lambat dan lemah, di mana penari membungkuk dan mengangkat tangannya ke atas secara bergantian.
  2. Gerakan berputar: Penari kemudian melakukan gerakan berputar dengan kaki yang diangkat di udara.
  3. Gerakan melompat: Gerakan melompat juga sering dilakukan dalam tari Gandrung, di mana penari melompat dengan kaki yang diangkat di udara.
  4. Gerakan tangan: Gerakan tangan dalam tari Gandrung sangat penting dan kompleks. Penari sering menggunakan gerakan tangan yang khas, seperti gerakan melambai, mengangkat, dan melingkar.
  5. Gerakan melinting: Gerakan melinting adalah gerakan di mana penari berputar dan menari sambil memutar kain atau kipas di tangan.
  6. Gerakan akhir: Tarian biasanya diakhiri dengan gerakan lambat dan lemah, mirip dengan gerakan awal.

Busana Tari Gandrung

Penari tari Gandrung Banyuwangi memiliki kostum khusus yang dianggap sebagai bagian penting dari tarian. Kostum tradisional ini terdiri dari beberapa bagian, antara lain:

  1. Kebaya: Penari biasanya mengenakan kebaya yang terbuat dari bahan sutra atau kain brokat dengan warna cerah seperti merah, hijau dan kuning. Kebaya ini biasanya memiliki sabuk di pinggang dan dihiasi dengan payet atau manik-manik.
  2. Kain batik: Penari juga mengenakan kain batik yang dililitkan di pinggang. Kain batik ini biasanya memiliki motif khas Banyuwangi seperti motif bunga atau daun.
  3. Selendang: Selendang adalah kain panjang yang dikenakan di atas bahu dan diikat di depan. Selendang ini biasanya memiliki warna yang senada dengan kebaya.
  4. Perhiasan: Penari tari Gandrung juga sering mengenakan perhiasan seperti kalung, gelang, dan anting-anting yang terbuat dari emas atau perak.
  5. Hiasan kepala: Penari juga mengenakan hiasan kepala yang terbuat dari bunga atau daun. Hiasan kepala ini biasanya diikatkan di belakang kepala.

Itu hanya beberapa bagian dari kostum tradisional penari tari Gandrung Banyuwangi. Kostum ini sangat indah dan merupakan bagian penting dari tarian tersebut.

Tari Gandrung Wanita

Catatan sejarah mengatakan bahwa Tari Gandrung pertama kali dibawakan oleh kaum lelaki yang berdandan layaknya perempuan. Ketika merujuk pada keterangan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi Tarian Gandrung Lanang ini adalah kendang.

Selanjutnya, gandrung laki-laki lambat laun lenyap dari Banyuwangi pada kisaran tahun 1890-an. Hilangnya gandrung laki-laki diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau kaum laki-laki yang berdandan seperti perempuan.

Meski demikian, Tari Gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap sekitar tahun 1914. Tepatnya setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan. Sementara itu, Tari Gandrung wanita dalam sejarahnya dikenal dengan Gandrung Semi.

Ini berkaitan dengan seorang anak kecil bernama Semi yang berusia sepuluh tahun. Pada tahun 1895 ia menderita penyakit yang cukup parah. Segala daya dan upaya penyembuhan telah dilakukan namun tidak mampu menyembuhkan penyakit tersebut.

Mak Midhah (sang ibu) kemudian bernadzar seperti “kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).

Baca juga: Tari Seblang Banyuwangi

Setelah ibunya bernadzar, ternyata Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru Tari Gandrung oleh wanita. Tradisi Gandrung oleh Semi dilestarikan juga oleh adik-adik perempuannya, hingga kesenian ini berkembang pesat di Banyuwangi.

Awalnya Gandrung hanya boleh ditarikan para keturunan penari Gandrung sebelumnya. Tradisi ini berlangsung hingga tahun 1970-an seiring dengan banyaknya gadis muda yang bukan keturunan turut mempelajari dan menjadikan sumber mata pencaharian.

Seiring berjalannya waktu, kesenian Gandrung berkembang dan tetap kuat meski diterpa arus globalisasi. Untuk mempertahankan eksistensinya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mewajibkan setiap siswa SD hingga SMA untuk mengikuti ekskul kesenian Banyuwangi.

Sebagai contoh adalah pembelajaran Tari Jejer yang merupakan sempalan dari Gandrung Banyuwangi. Keberadaan kesenian Gandrung juga diperkuat dengan antusiasme seniman-budayawan di Dewan Kesenian Blambangan yang sejak tahun 2000 mulai meningkat.

Mereka beranggapan bahwa Gandrung adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Using yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Osing.

Selain itu, Tari Gandrung Banyuwangi dapat memperkuat ikatan sosial dan spiritual antara manusia, Tuhan, dan alam sekitar melalui beberapa hal, antara lain:

  1. Sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan penghormatan terhadap para dewa dan leluhur, tarian ini dapat memperkuat ikatan spiritual antara manusia dan Tuhan.
  2. Dalam konteks sosial budaya, tarian ini merupakan simbol kebersamaan dan persatuan. Dalam proses pembelajaran dan pertunjukan, para penari belajar untuk bekerja sama dengan satu sama lain sehingga dapat menciptakan sebuah kesatuan gerakan yang indah dan harmonis. Hal ini mencerminkan pentingnya kerjasama dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
  3. Tarian ini juga memperkuat ikatan sosial antara manusia dengan sesama manusia. Ketika para penari tampil di depan masyarakat, mereka membawa pesan tentang keindahan alam, kebesaran Tuhan, serta kedamaian dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Hal ini dapat memperkuat ikatan sosial antara manusia dan mempererat hubungan antara sesama manusia.
  4. Tarian ini juga dapat memperkuat ikatan antara manusia dengan alam sekitar. Dalam gerakan-gerakan yang lembut dan indah, para penari menggambarkan keindahan alam dan pentingnya menjaga kelestarian alam. Hal ini dapat membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan memperkuat ikatan antara manusia dengan alam sekitar.

Secara keseluruhan, tari Gandrung Banyuwangi dapat memperkuat ikatan sosial dan spiritual antara manusia, Tuhan, dan alam sekitar melalui pesan-pesan yang disampaikannya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Baca juga: Tari Kecak: Sejarah, Pola Lantai, Makna, Gerakan dan Properti yang digunakan

Penutup

Dalam kesimpulannya, tari Gandrung Banyuwangi merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang memiliki nilai-nilai yang sangat penting bagi masyarakat Banyuwangi dan Indonesia pada umumnya.

Tarian ini memperlihatkan keindahan gerakan yang lembut dan indah, yang ditampilkan oleh para penari dengan penuh semangat dan kebersamaan. Tarian ini juga memiliki makna yang sangat dalam, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan penghormatan terhadap Tuhan, leluhur, serta alam sekitar.

Selain itu, tarian ini juga memperkuat ikatan sosial dan spiritual antara manusia, Tuhan, dan alam sekitar, serta menjadi simbol kebersamaan dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Untuk itu, tari Gandrung Banyuwangi harus terus dilestarikan dan dijaga agar dapat terus menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang dapat menginspirasi dan memperkaya kehidupan kita sebagai bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *