Tari Bedayo Tulang Bawang: Sejarah, Makna dan Penyajian

Tari Bedayo Tulang Bawang
sumber warisanbudaya.kemdikbud.go.id
5/5 - (1 vote)

Balaibahasajateng, Tari Bedayo Tulang Bawang: Sejarah, Makna dan Penyajian. Masing-masing provinsi di Indonesia memiliki budaya dan adat-istiadat yang unik, tidak terkecuali di Provinsi Lampung. Adat istiadat Lampung sendiri tidaklah terlepas dari keseniannya, karena dalam masyarakat tradisi kesenian difungsikan sebagai bagian dari upacara adat.

Dari beberapa kesenian tua di Lampung, tari disebut sebagai kesenian dengan perkembangan paling pesat. Dalam kaitannya dengan adat istiadat, sejumlah tarian adat masih bertahan dan lestari hingga saat ini. Sebagai misal adalah Tari Bedayo Tulang Bawang yang diperkirakan telah ada sejak abad ke-14.

Istilah Bedayo atau budayo merupakan pengucapan orang Menggala untuk menyebut budaya, sementara Tulang Bawang menunjuk pada nama daerah kelahiran tarian ini, yakni Kabupaten Tulang Bawang. Ada dugaan tarian ini di masa lalu terdapat di Kampung Bujung Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Baca juga: Menggali Asal-Usul 10 Tarian Lampung: Sejarah dan Perkembangan yang Menarik

Dulu tari ini difungsikan sebagai sarana pemujaan kepada para dewa. Setelah dibangkitkan kembali untuk dijadikan identitas budaya Kabupaten Tulang Bawang, kesenian ini lebih difungsikan sebagai tarian selamat datang. Tarian ini pernah dipentaskan saat HUT Kabupaten Tulang Bawang IX pada 8 Maret 2006.

Table of Contents

  1. Sejarah Tari Bedayo Tulang Bawang
  2. Penyajian Tari Bedayo Tulang Bawang
  3. Makna Filosofis Bedayo Tulang Bawang

Sejarah Tari Bedayo Tulang Bawang

Sejauh ini kesejarahan tari ini masih berkisar pada dugaan-dugaan atau hanya didasarkan pada legenda orang Menggala. Diperkirakan tari ini ada pada abad ke-14 di masa sisa-sisa kerajaan Tulang Bawang yang mendapat pengaruh agama Hindu-Budha. Tidak diketahui secara jelas siapa pencipta tarian ini.

Konon, munculnya tarian ini dikaitkan dengan wabah penyakit “taun” yang melanda Kampung Bujung Menggala yang menelan banyak korban. Taun berarti setan, yaitu penyakit cacar mematikan yang disebabkan oleh makhluk halus atau setan. Berbagai usaha dilakukan, namun penyakit tersebut tidak juga hilang.

Tersebutlah tokoh bernama Menak Sakawira yang berinisiatif menyepi selama sembilan hari di tambak (tanah berundak) yang ada di Kampung Bujung Menggala. Semedi tersebut dimaksudkan untuk memohon pada Dewa Pun (Dewa Siwa) agar wabah penyakit yang melanda kampung tersebut bisa segera dihentikan.

Selanjutnya, Menak Sakawira pun mendapat wangsit agar mengadakan upacara pemotongan kambing hitam dengan diiringi tarian sakral. Tarian ini haruslah dibawakan oleh 12 penari wanita yang masih suci (secara spiritual) serta diiringi gamelan klenongan yang terdiri dari kempul, gong, kendang, dan kulintang.

Setelah ada kesepakatan dengan sesepuh adat dan masyarakat, tari pun dipentaskan, menghadap ke timur sesuai dengan adat Tulang Bawang. Arah timur dimaknai sebagai awal munculnya cahaya dunia atau jika dihubungkan dengan kehidupan manusia, arah timur adalah awal munculnya energi untuk berkarya atau beraktivitas.

Lambat laun pementasan tari ini mentradisi karena setiap bulan purnama dipentaskan di Candi Gughi. Saat orang Portugis datang dan sering melihat tarian ini, mereka menyebutnya sebagai kebudayaan orang Menggala Tulang Bawang. Dari sini, orang Menggala kemudian menyebut tariannya dengan nama Tari Bedayo Tulang Bawang.

Seiring berjalannya waktu beberapa putra Menggala juga mempelajari tarian ini. Ratu Dandayanti mempelajarinya saat remaja pada tahun 1940-an, juga Marwansyah Warganegara yang seorang keturunan bangsawan mempelajarinya saat remaja tahun 1950-an. Selanjutnya, tarian ini pernah dipentaskan saat perayaan HUT Kabupaten Tulang Bawang pada tahun 2006.

Penyajian Tari Bedayo Tulang Bawang

Jika dulu tari ini menjadi bagian dari upacara sakral, saat ini hanya difungsikan sebagai tari penyambutan. Tari ini disajikan oleh 12 penari putri yang menari dengan gerak dan busana yang sama. Tiga diantaranya membawa sesaji dan berada paling depan, sedangkan yang lain berada di belakang. Ada juga seorang putra pembawa payung.

Semua penari putri dari Tari Bedayo Tulang Bawang menari dengan susunan gerak yang telah dirumuskan, diantaranya lapah tebengsembah pebukounarisembah penutup, dan giling balik. Seperti halnya tarian ini di masa lalu, di masa sekarang juga diringi oleh musik klenongan dengan tabuh Rajo Menggalo.

Makna Filosofis Bedayo Tulang Bawang

Sebagai tari tradisional yang awalnya bersifat sakral, Tari Bedayo Tulang Bawang sangat sarat dengan nilai-nilai kearifan. Ketiga penari pembawa sesaji dimaknai ketuhanan melalui isi sesaji yang dibawa, diantaranya sebagai berikut :

  • Kemenyan : Ditempatkan paling atas disebut pengembus (embun) atau pengighit (pikiran). Bahwa tiada asap tanpa api, tiada wangi tanpa pembakaran, ini mempunyai makna agar manusia mengetahui asal-usul hidupnya.
  • Beras Kuning : Mempunyai makna kesuburan dan keselamatan. Ditempatkan di bagian tengah atau penengah (ucapan).
  • Daun Salah (kayu sasou) dan Bunga : Berada paling bawah, mewakili pebetut (perbuatan). Bermakna kekuasaan Tuhan pada diri manusia agar ajaran kebenaran dapat dijalankan sebaik-baiknya dan diampuni segala dosa.

Baca juga: Tari Jaipong: Sejarah, Asal, Gerakan, Iringan dan Kostum

Sementara itu, sembilan penari yang berada di belakang ketiga penari pembawa sesaji menjadi simbol kehidupan manusia. Kesembilan penari masing-masing melambangkan fungsi dari otak, mata, telinga, mulut, hidung, hati, syaraf, tangan dan kaki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *