Beksan Wireng Mangkunegaran: Sejarah dan Cara Penyajian

tari beksan wireng Mangkunegaran
sumber gasbanter
5/5 - (1 vote)

Balaibahasajateng, Beksan Wireng. Tari (beksan) Wireng adalah jenis tarian tua dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Sebuah tari yang memberi penggambaran tentang “Wira” atau perwira dan “Aeng” yaitu prajurit yang unggul.

Oleh karena itu Tari Wireng adalah tari yang bertemakan perang sebagai usaha agar prajurit istana tangkas dalam olah keprajuritan atau latihan perang. Biasanya tari ini dibawakan oleh dua orang penari dengan menggunakan kostum seperti seorang prajurit.

Beksan Wireng adalah kesenian adiluhung yang bersumber dari Kraton Jawa. Dalam hal ini, Kasunanan Surakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, serta Pura Mangkunegaran yang terus melestarikannya.

Bahkan ketika merujuk pada Serat Centhini, tarian Wireng telah ada sejak abad ke-11 sebagai zaman Jenggala-Kediri. Di masa itu telah ada beberapa jenis Tari Wireng, baik yang menggunakan senjata maupun tanpa senjata.

Secara garis besar, Tari Wireng merupakan tari peperangan yang khas. Ciri-cirinya, termasuk menyajikan perang tanding dengan melibatkan dua orang penari namun tidak ada kalah menang.

Tari ini juga tidak mengambil suatu cerita dan berlangsung tanpa ontowacono (dialog). Selain itu, bentuk tarian maupun pakaiannya sama dan disajikan dengan iringan gending satu dan dua, dimulai oleh gendhing ladrang untuk kemudian diteruskan oleh gendhing ketawang.

Table of Contents

  1. Perihal Istilah Beksan Wireng
  2. Sejarah Tari Beksan Wireng
  3. Penyajian Beksan Wireng

Perihal Istilah Beksan Wireng

Ada yang berpendapat bahwa istilah Wireng berasal dari gabungan dua kata yakni “Wira” atau perwira dan “Aeng” yang berarti prajurit yang unggul. Ketika merujuk pada P.M Rono Suripto, kata Wireng juga berasal dari kata “wira” yang artinya perwira atau prajurit. Adapun akhiran “ing” hanya difungsikan sebagai penyangkat (Kamajaya, 1986: 193-194).

Pengertian di atas sejalan dengan apa yang disebutkan di Kamus Jawa Kuno yang ditulis oleh P.J Zoetmulder. Dalam kamus tersebut diterangkan bahwa kata “wira” berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya: orang pemberani, pahlawan, prajurit yang berani (Kamajaya, 1981: 41).

Baca juga: 15 Tarian Yogyakarta: Ada Tari Serimpi dan Bedhaya yang khas Njawani!

Sementara itu, istilah Beksan berasal dari kata baksa, babaksan, ababaksan yang berarti menari (Pakempalan Yogyataya 1923: 28). Jadi, Beksan Wireng berarti tarian yang mengusung tema tentang oleh kaprajuritan, perang dan kepahlawanan.

Tari ini difungsikan untuk gladen atau berlatih perang para putra raja maupun prajurit. Jika menggunakan alat perang, tari ini disajikan dengan alat perang seperti pedang, tameng, keris, lawung, dhadhap, tombak, godo, dan panah.

Sejarah Tari Beksan Wireng

Dalam sejarahnya, ketika merujuk pada Serat Centhini yang mulai disusun pada tahun 1814, Beksan Wireng telah ada sejak abad ke-11 atau pada zaman Jenggala-Kediri. Namun dalam artikel ini, hanya akan ditulis perihal sejarah Beksan Wireng Mangkunegaran.

Informasi mengenai keberadaan Tari Wireng bisa ditemukan dalam berbagai serat, termasuk Serat Centhini, Serta Sastramiruda, Serta Weddataya, serta Serat Kridhwayangga. Lihat informasinya melalui tautan referensi dibawah artikel ini.

Di Mangkunegaran, terciptanya Tari Wireng sangat dikaitkan dengan sejarah berdirinya kadipaten. Sejarah tentang perjuangan R.M Said beserta pengikutnya, termasuk 18 orang pendukung setianya yang tangguh dan berani sebagai pemimpin inti pasukannya.

Selama 16 tahun R.M Said beserta pengikut setianya melawan penjajah dalam perang yang dinamakan VOC sebagai perang Suksesi Tanah Jawa (1741-1757). Semangat perjuangan mereka terutama dimotori oleh ikrar yang berbunyi “Tiji Tibeh” yang artinya mati siji mati kabeh atau mukti siji mukti kabeh (Sastrakarta, 1925: 6).

Disusul kemudian lahirnya ajaran Tri Darma setelah R.M Said yang dijuluki Pangeran Sambernyawa dinobatkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I. Ajaran Tri Darma tersebut berbunyi Mulat sarira hangrasa wani, Rumangsa melu handarbeni, dan Wajib melu banggondeli.

Tiga kelompok kata dalam Tri Darma memiliki kesatuan makna yang intinya menjunjung tinggi kebenaran, kesadaran bahwa praja adalah hasil perjuangan bersama, serta kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan. Semangat Tiji Tibeh dan Tri Darma selanjutnya berpengaruh kuat dalam tata hidup dan perilaku masyarakat Trah Mangkunegaran, termasuk dalam hal budaya.

Pada masa pemerintahan Mangunagara IV, bidang sastra sangatlah menonjol dengan lahirnya karya sastra terkenal seperti Serat Tripama, Serat Wedatama dan Wawacan Panyi Wulung. Adapun dalam bidang tari sebagian besar berbentuk Tari Wireng dimulai dengan lahirnya Tari Wireng Janaka – Cakil pada masa K.G.P.A.A Mangkunagara I.

Di masa selanjutnya, Mangkunagara II memilih untuk melanjutkan perang melebarkan kekuasaan sehingga tidak ada waktu untuk berkesenian. Kemudian pada masa Mangkunegara III, baru tercipta lagi Tari Wireng Harjuna Mangsah dan Wireng Putri Lenggotbawa.  Beksan Wireng mulai banyak tercipta pada masa Mangkunagara IV.

Pada masa itu lahir beberapa Tari Wireng seperti Panji Anom (Dadap Kaneman), Sinibondo, Klono Topeng, Gunungsari Topeng, Lawung, Bondoboyo, Bondowolo, Bondoyudo, Tameng Subolo dan Wireng Panji Bugis – Handoko Bugis. Selanjutnya, masa Mangkunagara V disebut sebagai masa keemasan tari kaprajuritan ini.

Pada masa itu, semakin banyak tercipta varian Beksan Wireng. Diantaranya adalah Tayungan Wireng, Harjunasasra – Sumantri, Kelatapura – Begawan Ciptaning, Wirun – R. Rg. Narantaka, Klana Jayengsari – Klana Saiyapati, Pagunadi – Janaka dan Wireng Karna – Janaka.

Selain itu, ada juga Wireng Lawune, Bandabaya, Bandawaka (Handaga-Dirgantara), Bandawala (Kalang – Macanwulung), Tameng Subala, Wireng Bugis, Sancaya – Kusumawicitra dan Wireng Kethek.

Pada masa Mangkunagara VI terjadi krisis meski bidang kesenian semakin subur terutama tari dan pementasan Wayang Orang. Beksan Wireng tercipta kembali pada masa Mangkunagara VII seperti Mandrasmara, Mandrakusuma (Srikandi-Larasati), dan Mandra Retna (Srikandi-Mustakaweni).

Pada masa Mangkunagara VIII, lahir juga beberapa Tari Wireng dengan pemadatan gerak dengan mengurangi gerakan berulang. Diantaranya adalah Wireng Priyambada-Mustakaweni, Minakjingga-Damarwulan, Menak Koncar, dan Mandrasari.

Baca juga: Tari Galombang: Pengertian, Sejarah, Asal dan Penyajian

Penyajian Beksan Wireng

Oleh karena pengaruh besar dari jiwa kepahlawanan dan semangat perang para pendiri Praja mangkunegaran yang mempunyai ikrar Tiji Tibeh dan ajaran Tri Darma, Tari Wireng memiliki banyak ragam. Terutama yang ada di Mangkunegaran, dimana sebagian besar periode pemerintahan turut menciptakan variasi Tari Wireng-nya sendiri.

Meskipun begitu, jika ditinjau dari struktur penyajian, tari ini selalu disajikan dengan pola yang hampir sama. Biasanya dimulai dari gawang kawit atau yang biasa disebut maju beksan. Selanjutnya diteruskan di gawang baku yang disebut beksan, diakhiri mundur beksan dan kembali lagi ke gawang kawit.

Adegan perangan umumnya terbagi menjadi dua, yakni perang gendhing yang diikat oleh aturan gending. Ada juga perang ruket (bergumul) yaitu perang campuh tanpa terputus-putus, saling memukul, menyerang dan bertahan. Perang ruket tidak banyak menggunakan sekaran-sekaran atau variasi namun masih mengikat dalam susunan tari.

Mengenai penokohan, Tari Wireng umumnya mengambil dari tokoh pewayangan. Diantaranya diambil dari tokoh Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Klithik, Wayang Gedog, Wayang Rama, Wayang Ayudya, dan Wayang Menak. Dalam hal tata busana, tari ini mengacu pada busana yang digunakan dalam Wayang Wong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *