10 Tarian dari Sumatera Utara untuk Anda Ketahui

tari dari sumatera utara
Tari Piso Surit salah satu Tarian asal Sumatera Utara / IMG: kikomunal-indonesia.dgip.go.id

Balaibahasajateng.web.id, 10 Tarian dari Sumatera Utara untuk Anda KetahuiSeni tari senantiasa melekat dalam kesejarahan budaya di Indonesia. Gerak tubuh berirama dirasa paling mewakili ekspresi, baik perasaan maupun pikiran. Setiap provinsi mengoleksi tarian-tarian suku-suku yang mendiaminya, tidak terkecuali di Sumatera Utara.

Masyarakat Batak dengan ragam sub-etnis yang termasuk di dalamnya dikenal mendominasi kebudayaan Sumatera Utara. Tari-tarian indah mewarnai eksotika budaya mereka. Selanjutnya, Suku Nias melalui kebudayaan yang tinggi dan tua, menawarkan tarian dengan citarasa yang berbeda.

Tidak hanya itu, tarian masyarakat Melayu yang sebagian besar mendiami wilayah pesisir timur, juga turut melengkapi ragam tarian daerah Sumatera Utara. Sebagaimana umumnya produk budaya Nusantara, tarian dari Sumatera ada yang bersifat sakral, ada yang bersifat murni hiburan.

Dalam artikel ini telah disajikan beberapa nama tarian Sumatera Utara, lengkap dengan gambar beserta penjelasan singkatnya. Sebagian tari ada juga yang telah dibuatkan artikel tersendiri dengan penjelasan yang lebih detail. Jika berminat, Anda bisa klik tautan yang tersedia.

10 Daftar Tarian Sumatera Utara

  1. Tari Tor-tor
  2. Tari Maena
  3. Tari Piso Surit
  4. Tari Rondang Bulan
  5. Tari Serampang Dua Belas
  6. Tari Tandok
  7. Tari Fataele
  8. Tari Gundala-Gundala
  9. Tari Toping-Toping
  10. Taktak Garo-Garo

Tari Tor-tor

gerakan-tari-tor-tor

Tor-tor lahir dari suku Batak Mandailing yang menempati kawasan Samosir, Toba Samosir dan sebagian Humbang Hasundutan. Menghentak, itulah nuansa yang dihadirkan melalui gerakan ataupun irama musik Gondang yang selalu menyertai tarian ini.

Sebagai sebuah tarian yang terlahir dari masyarakat tradisi, Tor-tor pada awalnya lebih difungsikan sebagai sarana upacara, termasuk kematian, panen, penyembuhan, serta pesta muda-mudi, disertai beberapa proses ritual yang harus dilalui.

Dalam sejarahnya belum ada buku yang mendeskripsikan rekam sejarah tarian ini beserta Gondang Sembilan yang mengiringinya. Ada pendapat yang memperkirakan bahwa sejak abad ke-13, Tor-Tor sudah menjadi bagian dari budaya suku Batak.

Tari Tor-tor memiliki beberapa jenis. Ada Tor-tor Pangurason yang disebut tari pembersihan saat acara pesta besar, sebagai usaha menghindari musibah. Menariknya, pembersihan yang dimaksud adalah menggunakan jerut purut.

Ada juga Tor-tor Sipitu Cawan dan Tor-tor Tunggal Panaluan yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Penjelasan mengenai jenis-jenis Tor-tor ini bisa dibaca pada artikel Tari Tor-tor Batak yang sebelumnya memang telah diposting dalam artikel tersendiri.


Baca juga: Properti Tari Tor tor

Tari Maena

Maena adalah tarian Suku Nias. Tari kolosal dan seremonial yang sering dipertunjukkan saat pernikahan adat Nias. Dimaksudkan untuk memuji kecantikan mempelai wanita. Ketika mempelai pria tiba di rumah mempelai wanita. Itu dulu, saat ini sering juga ditampilkan di berbagai acara.

Tidak ada batasan jumlah penari dalam tari ini. Umumnya para penari menggunakan pakaian adat Nias. Meskipun di beberapa keadaan busana yang dikenakan bisa disesuaikan dengan acaranya. Ada juga yang menggunakan pakaian bebas, sehingga penonton pun bisa ikut menari bersama.

Tari Maena disajikan dengan gerakan yang sederhana, yang ditekankan adalah kekompakan gerak dalam menarikannya. Terkadang penari membentuk formasi lingkaran, terkadang juga membentuk barisan. Meskipun sederhana, Maena sangatlah menarik karena didalamnya juga dilantunkan pantun Maena.


Tari Piso Surit

Tarian Sumatera Utara selanjutnya merupakan tarian khas suku Batak Karo, yakni Tari Piso Surit. Nama tarian ini diambil dari nama seekor burung yang suka bernyanyi. Istilah Piso Surit juga sebagai judul lagu yang mengiring tarian ini, karya dari komponis Batak Karo, Djaga Depari.

Dalam prakteknya, Tari Piso Surit mengisahkan seorang gadis menanti datangnya sang kekasih. Lama menanti dan bersedih hingga digambarkan bagai burung Piso Surit yang berkicau, memanggil-manggil nama sang pujaan hati. Tarian ini dibawakan dengan lemah gemulai untuk menggambarkan kesedihan itu.


Baca juga: Tari Asal Jawa Tengah

Tari Rondang Bulan

Jika Tari Piso Surit di atas lebih menggambarkan kesedihan, tarian dari Sumatera Utara berikut ini kental dengan nuansa keceriaan. Rondang Bulan namanya, sebuah tarian khas masyarakat Batak Mandailing di Tapanuli Selatan.

Penarinya adalah gadis-gadis belia yang sepanjang tarian memamerkan senyum manisnya. Mereka menari berlenggak-lenggok. Sesekali membentuk lingkaran, berjalan mengitar sambil menjentikan jemari dengan sesekali bertepuk tangan.

Rondang Bulan berarti terang bulan. Dinamakan begitu karena biasanya dibawakan saat malam bulan purnama. Sama halnya dengan Tari Padang Ulan di Banyuwangi, tari ini mencoba menggambarkan keceriaan remaja saat bulan purnama tiba.


Tari Serampang Dua Belas

Tari Serampang Dua Belas merupakan tarian tradisional Sumatera Utara yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Tarian ini terlahir sebagai satu cara masyarakat Melayu Deli untuk memperkenalkan tata cara pencarian jodoh pada generasi muda.

Awalnya tarian ini dinamakan Tari Pulau Sari. Karena dianggap tidak sesuai dengan irama lagu yang bertempo cepat, digunakanlah istilah “serampang” yang lazim digunakan untuk menyebut lagu bertempo cepat. Bahkan, irama lagunya adalah yang tercepat diantara lagu lain yang berjudul serampang.

Sementara itu, istilah “Dua Belas” merujuk pada jumlah ragam gerak tari yang jumlahnya dua belas. Tari ini tercipta di era 1940-an oleh seniman bernama Sauti. Selanjutnya digubah ulang sekitar tahun 1950-1960. Selain namanya, perubahan juga terjadi pada gerak dan penarinya.


Tari Tandok

Tari Tandok merupakan tarian Sumatera Utara dari masyarakat Batak di wilayah Tapanuli Utara. Kesenian ini sangat erat kaitannya dengan budaya tanam dalam lingkup masyarakat Batak. Tarian ini menggambarkan kegiatan para ibu ketika memanen beras di ladang dengan menggunakan tandok.

Tarian Tandok disajikan oleh empat penari perempuan, atau bisa lebih dari empat asal berjumlah genap. Semua penari mengenakan pakaian tradisional yang didominasi warna hitam dan merah. Selain tandok, mereka juga menggunakan properti berupa ulos dan kain sarung.

Tari ini lebih banyak menghadirkan gerakan tangan. Pada bagian tertentu, para penari akan membentuk formasi melingkar mengelilingi tandok yang diletakkan di tengah mereka. Baca artikel lebih lengkap mengenai tarian ini melalui tautan Tarian Tandok Sumut.


Tari Fataele

Tari Fataele merupakan tarian perang Suku Nias. Sebuah tarian kuno yang erat hubungannya dengan tradisi Lompat Batu Nias atau Fahombo. Selain karena lahirnya tarian ini bersamaan dengan tradisi tersebut, dalam prakteknya tarian ini juga dipertunjukkan bersamaan dengan Tradisi Fahombo.

Fataele merupakan sebutan bagi pasukan Nias yang dinyatakan lulus dari ujian Lompat Batu. Pengumuman kelulusan oleh Si’ulu (ketua adat Nias) tersebut dirayakan dengan mengadakan pesta besar. Pembentukan Fataele tidak hanya ditujukan untuk pertahanan, namun juga untuk keperluan upacara adat.

Selain fungsi pertahanan, fungsi Fataele masih sama hingga saat ini dan menjadi bagian dari adat, seperti upacara kematian dan pernikahan keluarga Si’ulu, serta sebagai penyambutan tamu kehormatan. Tarian Fataele ditarikan oleh penari berpakaian adat lengkap dengan tameng, pedang, dan tombak.


Tari Gundala-Gundala

Sebagaimana kebudayaan lain di Indonesia, Tarian daerah Sumatera Utara juga termasuk beberapa tarian yang menggunakan properti topeng. Sebagai misal adalah Tari Gundala-Gundala, salah satu tarian tradisional suku Batak Karo. Tari ini ditujukan untuk Ndilo Wari Udan (memanggil hujan).

Tarian ini berangkat dari legenda Karo tentang Gurda-Gurdi, petapa sakti yang menjelma menjadi burung. Singkat cerita Gurda-Gurdi dibunuh oleh Raja Sibayak karena suatu kesalahpahaman. Saking sayangnya pada Gurda-Gurdi, masyarakat Karo bersedih, menangis luar biasa hingga turun hujan.

Sejak saat itulah Tari Gundala-Gundala lahir. Selain mengisahkan Gurda-Gurdi, tarian ini bertujuan untuk memanggil hujan. Para penarinya menggunakan jubah dan topeng yang terbuat dari kayu. Hingga saat ini, jika terjadi kemarau panjang, masyarakat Karo menarikannya dan berharap hujan datang.


Baca juga: Rahasia Tari Piring: Sejarah, Fungsi, Keunikan, Makna dan Gambar

Tari Toping-Toping

Selain Gundala-Gundala, tarian Sumatera Utara yang menggunakan topeng adalah Tari Toping-Toping oleh masyarakat Suku Batak Simalungun. Pada awalnya tarian ini dilakukan untuk menghibur keluarga kerajaan yang berduka cita. Namun dalam perkembangannya hanya berfungsi hiburan saja.

Toping-Toping dibawakan oleh beberapa penari mengenakan kostum bertopeng dengan diiringi alat-alat musik tradisional. Ada beberapa topeng dalam tarian ini. Ada Topeng dalahi (rupa menyerupai wajah pria, dikenakan oleh penari pria) dan Topeng Daboru (rupa menyerupai wajah wanita, dikenakan oleh penari wanita)

Selain dua topeng tersebut, ada juga Topeng Huda-Huda (menyerupai paruh burung enggang, dibentuk dari jalinan kain) yang bersifat sakral. Topeng ini diyakini masyarakat Simalungun sebagai pengantar roh orang yang sudah meninggal kehadapan Dibata (Dewa atau Tuhan).


Taktak Garo-Garo

Tarian daerah Sumatera Utara selanjutnya merupakan tarian suku Batak Pakpak yang dinamakan Taktak Garo-Garo. Masyarakat Pakpak menyebut tarian mereka dengan istilah taktak atau tatak. Adapun Tatak Garo-Garo merupakan salah satu tarian mereka yang menggambarkan kehidupan burung.

Mengenai penggambarannya, tarian ini mirip dengan Tari Piso Supit. Selain menggambarkan kehidupan seekor burung, tarian ini juga mengisahkan seorang perempuan yang sedang mencari kekasihnya. Dalam tarian ini, dikisahkan pada akhirnya mereka pun bertemu dan pulang bersama.

Baca juga: Tari Kecak Bali yang mempesona

Meski demikian, tarian ini lebih menunjukkan keceriaan, berbeda dengan Piso Surit yang cenderung bernuansa sedih. Tarian Taktak Garo-Garo biasanya dipertunjukkan oleh Suku Pakpak saat masa panen tiba sebagai bentuk suka cita mereka atas hasil panen yang berlimpah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *